Senin 07 Apr 2025 06:13 WIB

16.500 Tentara Israel Terluka, Hampir Separuhnya Alami Sakit Jiwa

Militer israel mengalami krisis tenaga kerja serius di tengah ancaman Iran.

Tentara Israel memamerkan kejahatan mereka di media sosial pada Desember 2023.
Foto: Twitter/X
Tentara Israel memamerkan kejahatan mereka di media sosial pada Desember 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT — Divisi Rehabilitasi di Kementerian Keamanan Israel telah merawat 16.500 tentara dan perwira sejak dimulainya perang, demikian dilaporkan saluran Israel KAN 11 pada Ahad (6/4/2025).

Menurut laporan yang dikutip Al Mayadeen, sebanyak 7.300 dari mereka yang menerima perawatan juga menderita masalah kesehatan mental dan psikologis.

Baca Juga

Sebelumnya, Jacob Nagel, mantan Penasihat Keamanan Nasional Israel, memperingatkan bahwa militer Israel sedang menyaksikan krisis tenaga kerja yang serius di tengah ancaman yang semakin besar dari Iran. Nagel mendesak penilaian ulang strategi militer setelah peristiwa 7 Oktober 2023.

Menurut Nagel, krisis tenaga kerja sudah terlihat bahkan sebelum serangan Oktober dan menjadi lebih mendesak sejak saat itu. Dia menyoroti bahwa masalah tersebut mencakup kekurangan wajib militer dan layanan cadangan, selain kelemahan dalam layanan permanen.

Pada Januari lalu, media Israel melaporkan tentang kebutuhan mendesak bagi militer Israel untuk beristirahat dari operasi tempur, dengan alasan kelelahan yang dialami para tentara penjajah tersebut.

Analis menekankan pentingnya istirahat dan pelatihan bagi pasukan pendudukan Israel sehingga mereka butuh penghentian pertempuran.

Analis urusan militer dari Israeli Public Broadcasting Corporation mencatat pada Jumat bahwa pasukan cadangan yang dijadwalkan memasuki Gaza pada hari sebelumnya tidak dikerahkan sesuai rencana.

Analis tersebut menambahkan bahwa kehati-hatian diperlukan untuk menghindari usaha militer yang berisiko saat ini.

"Ada penilaian ulang yang konstan terhadap situasi mengenai perkembangan di arena lain, seperti Tepi Barat, garis depan utara, dan apa yang akan terjadi di Gaza." 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement