Ahad 22 Jan 2017 22:00 WIB

Mencari Alternatif Jaringan Toko Buku

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Agung Sasongko
Suasana di Toko Buku Wali Songo, Kwitang, Jakarta.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Suasana di Toko Buku Wali Songo, Kwitang, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski sudah berusia uzur, gedung tua itu masih anggun berdiri. Warna putih dan hijau berpadu padan menghiasi bangunan yang berlokasi di Jalan Kwitang, Senen, Jakarta Pusat. Di gedung itu, Toko Buku Wali Songo berdiri. Display di muka toko tampak meriah dengan Alquran dan buku-buku Islam. Produk bernuansa Islami mulai mukena hingga kurma membuat variasi lebih hidup di teras toko.

Rida Hartati (37 tahun) sudah tiga tahun berlangganan buku di Toko buku Wali Songo. Warga asal Tebet, Jakarta Selatan, ini mengetahui keberadaan toko berlantai tiga itu dari teman pengajiannya. Menurut dia, koleksi buku-buku Islam di toko buku ini terbilang komplit. "Sebab, di sini bukunya sangat lengkap. Mulai dari buku hadis, sejarah, tasawuf, sampai kitab kuning juga ada," ujar dia saat berbincang dengan Republika.co.id, belum lama ini.

Toko buku itu sudah berdiri sejak 1986. Ketut Masagung, sang pendiri, merupakan  pengusaha mualaf yang juga dikenal karena mendirikan toko buku Gunung Agung. Manajer Toko Buku Wali Songo Supriyatna menjelaskan, sejak didirikan oleh Ketut Masagung, toko buku Wali Songo memang sudah bertujuan untuk menjual dan memasarkan berbagai jenis buku keislaman.

"Jadi, Haji Masagung ini memang ingin konsen untuk (buku) Islam, karena itu mendirikan Wali Songo. Dan, di sini tidak hanya menjual buku saja, tapi juga aksesori Islam, kaligrafi, busana Muslim, dan lainnya," ujarnya kepada Republika, Senin (16/1).

Sebagai toko buku Islam, dia menjelaskan, toko buku Wali Songo juga coba menjadi alternatif di antara jaringan toko buku raksasa macam Gunung Agung dan Gramedia. Meski bukan lawan, Wali Songo tetap ingin bertahan.  Dalam lima tahun belakangan, toko besutannya selalu di kesampingkan dalam hal suplai buku-buku baru. "Jadi, penyuplai ini lebih mengutamakan untuk memasok bukunya ke toko buku umum terlebih dulu. Setelah berselang beberapa bulan, baru kita dapat bukunya," kata dia menjelaskan.

Menurut Supriyatna, ada beberapa faktor yang menyebabkan itu terjadi. Pertama, kata dia, faktor penjualan yang cukup signifikan di toko-toko buku umum. "Banyak penyuplai yang cerita kepada saya, memang bagus penjualannya (di toko buku umum)," ujarnya.

Selain itu, penerbit lebih memilih toko buku umum  karena faktor promosi. Ia menilai, banyaknya cabang toko buku mainstream saat ini membuat penyuplai atau penerbit lebih memilih untuk memasok buku-buku terbarunya kepada mereka. "Karena dengan banyak cabang, dia jadi lebih cepat promosinya. Nah, karena kita hanya satu-satunya, proses promosi jadi lebih lambat kan," kata Supriyatna.

Kendati demikian, ia yakin Wali Songo masih bisa bersaing dalam menjual buku-buku Islam bila dibandingkan toko buku lain. Beberapa tahun lalu, dia mengatakan, pengunjung toko buku Wali Songo bisa mencapai sekitar 300 orang per hari, dengan omzet hampir Rp 40 juta. Namun, ia tak memungkiri memang terjadi penurunan jumlah pembeli belakangan ini.  Omzet Wali Songo pun ikut merosot meski toko itu tetap memiliki pelanggan tetap.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement