
Oleh : DR Otong Sulaeman, Ketua/Rektor STAI Sadra periode 2024-2028
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Kita masih berada di bulan Agustus, di mana bangsa Indonesia kembali larut dalam suasana penuh simbol. Kita merayakan, dengan penuh rasa syukur, bahwa bangsa ini pernah bangkit dari belenggu penjajahan.
Namun, di tengah gegap gempita itu, ada satu hal yang kerap luput dari ingatan: para pahlawan kita berjuang bukan hanya melawan senjata penjajah, melainkan juga melawan propaganda kolonial.
Sejarah mencatat bagaimana kolonialisme selalu berusaha membungkus dirinya dengan wajah yang manis. Penjajahan tidak pernah ditampilkan sebagai perampasan, melainkan sebagai “misi peradaban.”
Indonesia mengenalnya dalam istilah Politik Etis Belanda pada 1901. Konon, Belanda ingin membalas budi kepada bumiputra dengan memberi pendidikan, kesehatan, dan perbaikan kesejahteraan.
Narasi ini tidak lahir di ruang hampa. Ia bagian dari wacana kolonial global yang pada akhir abad ke-19 dipopulerkan oleh Rudyard Kipling lewat buku puisinya yang berjudul White Man’s Burden (Beban Orang Kulit Putih).
Dalam bukunya, Kipling menggambarkan bahwa bangsa kulit putih memiliki “tugas moral” untuk mendidik bangsa-bangsa non-Eropa yang dianggap terbelakang.
BACA JUGA: Pengakuan Biarawati AS yang Mukim Lama di Palestina tentang Hamas dan Israel Hebohkan Dunia
Dengan logika ini, penjajahan dilihat bukan sebagai perampasan, melainkan sebagai kewajiban moral.
Namun, banyak kritikus langsung membantah narasi itu. Edward Morel, jurnalis Inggris, menerbitkan buku The Black Man’s Burden (1903) yang menegaskan bahwa penjajahan bukanlah beban orang kulit putih, melainkan beban tragis yang harus ditanggung bangsa kulit hitam dan bangsa terjajah lainnya.
