YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Kehadiran cabang dan ranting bagi Muhammadiyah sejatinya sangat lekat dengan pergerakan di awal berdirinya persyarikatan. Pada tahun 1920 dan 1922, cabang serta ranting telah menyertai kelahiran Muhammadiyah dan tumbuh kembangnya sebagai gerakan Islam yang membawa misi dakwah dan tajdid. Di tubuh Muhammadiyah, cabang dan ranting merupakan pengejawantahan dari semangat para generasi awal untuk menyebarluaskan syiar berkemajuan. Sekaligus menjadi dinamo penggerak bagi dakwah Muhammadiyah di daerah-daerah. Sehingga menjadikan Muhammadiyah hadir di setiap tempat dan di seluruh lapisan.
Haedar Nashir menegaskan bahwa keberadaan Muhammadiyah tempo dulu di tengah terbatasnya sarana transportasi dan dalam kondisi terjajah, ia tetap mampu bergerak dan menyebar ke seluruh bumi nusantara. Begitu juga dalam penambahan jumlah anggotanya, selain melalui sayap internal pergerakan, juga melalui relasi yang terbangun dengan ormas lain di luar Muhammadiyah.
“Sejatinya kekuatan penggerak Muhammadiyah secara kelembagaan berada di tingkat cabang dan ranting. Artinya, perluasan gerakan Muhammadiyah sangat bergantung pada kehadiran cabang dan ranting,” ujar Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut.
Sehingga dengan capaian ini Muhammadiyah menjadi satu satunya organisasi Islam yang mampu bertahan lebih dari satu abad, dengan persebaran anggotanya yang relatif merata di setiap daerah, tidak terkonsentrasi hanya di Yogyakarta sebagai tempat kelahirannya.
Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa pergerakan Muhammadiyah cepat sekali meluas. Haedar menjawab, karena di dalam diri Muhammadiyah terdapat fondasi Islam yang kokoh. Serta menjadikan Islam sebagai karakter yang bergerak dan menggerakkan, seperti yang tercantum di dalam QS. Ali Imran ayat 104 dan 110. “Jiwa pergerakan adalah jiwa yang selalu ingin maju dan tidak statis,” tegasnya dalam penutupan serangkaian acara LPCR Award dan Virtual Expo (1/3).
Jiwa pergerakan inilah yang kemudian diidentifikasi menjadi karakter Muhammadiyah dan kemudian tertulis dalam Anggaran Dasar sebagai gerakan Islam. Yang mana misi utama gerakan ini adalah dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid. “Tajdid harus menjadi satu paket dengan dakwah. Karena tajdid inilah yang menjadi kekuatan pembeda dari pergerakan Muhammadiyah,” ungkapnya.
Haedar menjelaskan bahwa jiwa pergerakan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya amal usaha Muhammadiyah, dan hampir semua amal usaha tersebut tumbuh dari bawah. Bahkan ada yang dimulai dari nol. Karena dengan semangat dakwah dan tajdid tersebut akhirnya Muhammadiyah dapat tumbuh besar menjadi pergerakan Islam yang memiliki nilai kebermanfaatan bagi masyarakat. Melihat cabang dan ranting yang terus tumbuh dan berkembang sedemikian rupa merupakan konsekuensi dari ruh gerakan Muhammadiyah itu sendiri.
“Dalam kaitannya dengan cabang dan ranting, saya memberikan apresiasi yang tinggi kepada para pimpinan dan anggota karena telah begerak sedemikian rupa. Ketika Muhammadiyah sudah memiliki itu semua, maka jangan sampai terlepas dari jiwa, identitas dan ruh gerakan itu sendiri yaitu Islam. Islam yang menggerakkan, Islam yang memajukan, Islam yang menggembirakan, Islam yang mencerahkan, bahkan lebih jauh lagi, Islam yang membangun peradaban,” ujar Haedar.
Menurutnya, hanya dengan menghidupkan cabang dan ranting dari yang mau mati menjadi hidup kembali, setelah hidup dapat bergerak maju, dan dari yang sudah maju meningkat menjadi unggul. Itu semua karena langkah-langkah yang terorganisasi dari LPCR. Dan melalui kegiatan-kegiatan seperti ini dapat menjadi instrumen bagi organisasi untuk menggairahkan pergerakan cabang dan ranting Muhammadiyah.
Lima langkah mengirahkan cabang dan ranting Muhammadiyah
Di tengah era yang cepat sekali berubah, Haedar berpesan agar cabang dan ranting tidak terbawa arus. Tidak juga anti terhadap perubahan. Meninggalkan dunia dan lari ke lorong gelap, sendirian. Sebagaimana Jalaluddin Rumi pernah berkata, jika setiap orang sholeh uzlah dari dunia, maka jangan salahkan jika nanti orang-orang zalim yang berkuasa. Karena orang-orang baik melarikan diri dari kehidupan.
Melihat pencapaian cabang dan ranting hingga saat ini. Setidaknya ada lima hal yang perlu menjadi perhatian kita bersama untuk menggairahkan cabang dan ranting. Pertama, karena cabang dan ranting merupakan akar dari Muhammadiyah, maka perlu dijadikan sebagai kekuatan keagamaan yang memandu kehidupan dan moral masyarakat. Satu dimensi penting dari gerakan Islam yaitu menanamkan nilai-nilai Islam yang utama dan membawa kepada terwujudnya rahmatan lil alamin.
“Untuk menjadi pemandu keagamaan di tingkat akar rumput, para pimpinan cabang dan ranting harus belajar agama dari apa yang telah digariskan oleh majelis tarjih,” pesannya.
Kedua, menjadikan cabang dan ranting sebagai kekuatan pemersatu masyarakat. Di era politik yang kian liberal, pembelahan di tengah masyarakat semakin sering terjadi. Maka sudah saatnya Muhammadiyah menjadi kekuatan perekat dan pemersatu. Muhammadiyah harus menjadi air di tengah panasnya dinamika kehidupan baik di dunia nyata mau pun dunia maya.
“Menjadi pemersatu tidaklah mudah. Ibarat jembatan yang menghubungkan dua tempat dan untuk diinjak-injak. Dan kalau tidak kuat akan roboh,” ujar Haedar.
Ketiga, cabang dan ranting harus menjadi problem solver, salah satunya di era pandemi seperti saat ini. Tetap menjadi uswah hasanah di tengah masyarakat. Keempat, cabang dan ranting harus menjadi penggerak kemajuan bagi masyarakat. Menurut Haedar, bisa jadi cabang dan ranting di sebuah daerah tertidur lelap itu karena merasa tidak ada tantangan. Dan sebenarnya jika ditinjau dari sarana dan pra sarana memiliki banyak kesiapan.
“Mungkin kita saja yang kurang bisa menghimpun dan memaksimalkan potensi yang ada,” ujar Haedar.
Kelima, khusus untuk PCIM dan PCIA tetap fokus menjadi penggerak internasionalisasi Muhammadiyah melalui program-program unggulan. Menjadi fase pergerakan baru dalam kepemimpinan Pimpinan Pusat Muhammadiyah sekarang dan yang akan datang. Menjadi pusat-pusat kemajuan di berbagai negara. Kerana kemajuan adalah tanda dari sebuah peradaban. (diko)