
Oleh : Otong Sulaeman,
REPUBLIKA.CO.ID, Ketika media melaporkan bahwa pasukan Amerika Serikat mulai bergerak ke kawasan Gaza untuk “memantau langsung gencatan senjata”, publik dunia kembali disuguhi narasi lama dengan wajah baru.
AS tampil seolah penengah, Donald Trump tampil sebagai arsitek perdamaian, dan Israel mencoba memoles dirinya sebagai pihak yang bersedia “menahan diri.”
Namun di balik semua bahasa diplomatik itu, tersembunyi logika kekuasaan yang telah berusia ribuan tahun: hegemoni yang membungkus diri dalam jubah moralitas.
Jika Al-Farabi masih hidup hari ini, barangkali ia akan menyebut tatanan politik ini sebagai madīnah jāhiliyyah modern — negara yang maju secara teknologi dan ekonomi, tetapi tenggelam dalam kebodohan moral.
Dalam Ara’ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, Al-Farabi menggambarkan sebuah negara ideal yang dipimpin oleh seorang ra’īs al-fāḍil, pemimpin yang berilmu, adil, dan menuntun rakyatnya menuju kebahagiaan sejati (as-sa‘ādah al-ḥaqīqiyyah).
Negara seperti ini dibangun atas dasar hikmah dan keadilan universal, bukan ambisi kekuasaan atau keuntungan material. Sebaliknya, ia menyebut negara yang kehilangan orientasi terhadap kebenaran sebagai madīnah jāhiliyyah — negara yang hanya mencari kekayaan, kekuasaan, dan kesenangan duniawi.
Negara seperti ini memutarbalikkan nilai: yang zalim disebut pahlawan, yang menindas berbicara tentang perdamaian, dan yang menjajah berbicara atas nama kemanusiaan.
Ketika AS dan Israel berbicara tentang “rekonstruksi Gaza,” sesungguhnya mereka sedang membangun proyek politik yang berangkat dari logika jahiliah itu.
Perdamaian yang mereka tawarkan bukanlah hasil dari pengakuan atas kesalahan dan keadilan, melainkan bentuk baru dari dominasi ekonomi dan politik. Rencana rekonstruksi Gaza versi Donald Trump dan para sponsor globalnya menjanjikan investasi besar, lapangan kerja, dan stabilitas.
Lihat postingan ini di Instagram