REPUBLIKA.CO.ID, TEPI BARAT — Layaknya kelompok perlawanan Palestina lainnya, Fatah juga memiliki sayap militer yang ikut memerangi penjajah Israel baik di Gaza maupun Tepi Barat. Kelompok militer bernama Brigade Syuhada Al-Aqsa dibentuk setelah Perdana Menteri Israel Ariel Sharon yang berjuluk 'Buldozer' dan kontingen polisi melakukan kunjungan kontroversial ke Temple Mount pada September 2000.
Tidak seperti Hamas dan kelompok militan Islam Palestina lainnya, brigade tersebut memiliki didasarkan pada nasionalisme Palestina yang sekuler, bukan fundamentalisme Islam, dilansir dari Britannica.
Nama kelompok tersebut merujuk pada Masjid Al-Aqṣā, yang terletak di Yerusalem di situs suci yang dikenal sebagai Al-Ḥaram al-Sharīf (“Tempat Suci yang Mulia”) oleh umat Islam dan sebagai Temple Mount oleh umat Yahudi. Umat Islam menghormati situs tersebut sebagai tempat Nabi Muhammad naik ke surga, dan umat Yahudi menghormatinya sebagai situs Bait Suci Kedua, yang dihancurkan oleh bangsa Romawi pada tahun 70 M.
Brigade Syuhada Al-Aqṣā dibentuk di kamp pengungsi Balata, Tepi Barat, dekat Nablus, pada 2000. Brigade tersebut berafiliasi dengan partai Fatah Palestina, hubungan yang tampaknya paling erat saat Fatah berada di bawah kepemimpinan Yasser Arafat.
Kelompok tersebut memulai aksinya dengan penembakan dari mobil dan bom syahid. Mereka mulai menargetkan blokade jalan dan pemukim Israel di Tepi Barat. Awalnya, kelompok tersebut tidak melakukan serangan di luar Tepi Barat.
Pada Agustus 2001, pemimpin dan salah satu pendiri brigade, Yasser Badawi, tewas akibat bom mobil. Setelah kematian Badawi, Brigade Syuhada mulai menyerang warga sipil di dalam Israel. Serangan kian meningkat. Pada 17 Januari 2002, seorang anggota brigade menewaskan enam orang dan melukai puluhan orang dalam sebuah bat mitzvah di H̱adera, Israel.
Setelah kematian Yasser Arafat pada 2004, hubungan para pejuang dengan Fatah tampaknya telah mengendur, meskipun kelompok tersebut masih dianggap berpihak pada partai politik tersebut. Pada 2005, Fatah mengumumkan bahwa Brigade Syuhada akan dibubarkan dan dimasukkan ke dalam pasukan keamanan Fatah. Akan tetapi, mereka tetap aktif.
Brigade ini bahkan mengancam akan membunuh anggota senior Hamas setelah Hamas memenangkan pemilu pada tahun 2006 dan mengambil alih Jalur Gaza. Pada 2007, Israel menawarkan amnesti kepada militan Brigade Syuhada Al-Aqṣā dalam upaya untuk memperkuat Fatah dan melemahkan Hamas.
Berdasarkan tawaran tersebut, para militan akan menyerahkan senjata mereka dan dimasukkan ke dalam dinas keamanan Fatah. Meskipun hal ini menyebabkan berkurangnya kekerasan, brigade-brigade tersebut terus mengklaim bertanggung jawab atas sejumlah besar penembakan dan bom bunuh diri, yang terkadang dilakukan bekerja sama dengan kelompok-kelompok pejuang lainnya, seperti Jihad Islam Palestina.
Brigade Syuhada Al-Aqṣā tampaknya merupakan organisasi yang sangat terdesentralisasi yang berbagai faksinya tampaknya bertindak secara independen—dan, pada tingkat tertentu, saling bertentangan—satu sama lain.