Oleh: Dr Irfan Syauqi Beik*
Sebagai institusi yang menjadi ujung tombak sektor keuangan sosial syariah, sinergi antara institusi zakat dengan wakaf mutlak dilakukan.
Hal ini dikarenakan oleh nature dari lembaga wakaf dan lembaga zakat yang saling melengkapi dan saling memperkuat.
Sebagai contoh, dalam UU No 23/2011 disebutkan bahwa definisi mustahik adalah orang yang berhak menerima zakat. Berbeda dengan definisi muzakki, dimana muzakki terdiri atas muzakki perseorangan maupun muzakki badan.
Hal ini berarti bahwa dana zakat tidak bisa diserahkan kepada mustahik yang berbentuk badan, kecuali kalau badan tersebut memang mengelola mustahik perorangan, seperti yayasan yatim dhuafa.
Hal ini sejalan pula dengan makna mustahik pada QS 9 : 60, dimana semua ashnaf penerima zakat merujuk pada orang, kecuali fii sabilillah. Makna ashnaf fii sabilillah ini bersifat multi interpretatif.
Artinya, bisa dimaknai sebagai orang, bisa pula dimaknai sebagai badan atau lembaga yang berhak menerima zakat. Namun demikian, ketentuan dalam UU No 23/2011 telah membatasi definisi mustahik, sehingga makna fii sabilillah menjadi spesifik pada orang.
Sementara itu di sisi lain, makna wakaf sangat luas. Peruntukan wakaf pun juga sangat luas. Dalam Pasal 5 UU No 41/2004 tentang Wakaf, dijelaskan bahwa setiap harta benda wakaf harus dioptimalkan bagi kepentingan ibadah dan bagi terwujudnya kesejahteraan umum.
Dalam sejarahnya, wakaf banyak difungsikan sebagai instrumen pembangunan ekonomi, sosial dan pendidikan, di samping pemanfaatannya secara tradisional untuk masjid dan lokasi tanah pemakaman.
*Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB