Oleh: Dr Irfan Syauqi Beik*
Jika melihat sejarah Rasul SAW, wakaf properti yang pertama kali ada adalah Masjid Quba, yang dibangun di luar Kota Madinah.
Enam bulan ke mudian dibangunlah Masjid Nabawi di pusat kota, yang juga merupakan aset wakaf.
Kemudian selanjutnya, jenis wakaf yang berkembang di zaman Nabi adalah wakaf produktif. Ini terjadi pada kisah seorang Yahudi yang bernama Mukhairiq, yang mewasiatkan tujuh kebunnya untuk diberikan kepada Rasul apabila ia wafat.
Pada tahun keempat hijriah, saat Mukhairiq wafat, Rasul pun menerima kendali kepemilikan kebun tersebut. Kemudian, yang Rasul lakukan adalah menjadikan kebun tersebut sebagai “charitable waqf”. Asetnya dijadikan wakaf, dan hasilnya dijadikan sebagai sedekah yang peruntukannya adalah untuk kelompok yang membutuhkan.
Praktik wakaf ini kemudian diikuti oleh para sahabat, termasuk Umar bin Khattab RA. Ketika Umar mendapatkan kebun kurma dari wilayah utara Semenanjung Arab, Kota Khaibar, ia bertanya kepada Rasul apa yang harus dilakukannya terkait dengan kebun tersebut.
Rasul menyatakan, jika Umar suka, maka ia boleh “memiliki” kebun tersebut sebagai properti wakaf, dan memberikan buah hasil panennya sebagai sedekah.
Dalam perkembangannya, wakaf ini kemudian menjadi instrumen yang menembus semua lini kehidupan umat, termasuk dari sisi harta benda wakaf yang kemudian berkembang, bukan hanya yang bersifat fixed asset melainkan juga wakaf uang, dan dari sisi peruntukannya, yang bervariasi seiring dengan perkembangan kebutuhan dan dinamika zaman.
Urgensi sinergi
Dengan melihat komparasi antara zakat dan wakaf, dan peran yang dimainkan kedua instrumen ini sepanjang sejarah, maka sinergi diantara ke duanya menjadi hal yang mutlak dilakukan.
Tidak bisa pengelolaan zakat dan wakaf di negeri ini dibiarkan berjalan sendiri-sendiri tanpa ada upaya nyata untuk mensinergikan keduanya. Apalagi saat ini kita tengah berhadapan dengan problem kemiskinan dan kesenjangan yang sangat akut.
*Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB