Senin 07 Aug 2017 05:33 WIB

Beda Wakaf dan Zakat

Tradisi wakaf (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Tradisi wakaf (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Potensi wakaf di Indonesia sangat besar, tapi belum dimanfaatkan dengan maksimal. Masih banyak masyarakat yang belum mengenal macam-macam wakaf. Pengasuh Pondok Modern Tazakka KH Anang Rikza Masyhadi menjelaskan perkembangan wakaf berdasarkan pengalamannya menerapkan ibadah tersebut kepada wartawan Republika Erdy Nasrul. Berikut petikannya.

Seperti apa wakaf dan bagaimana membangkitkannya?

Wakaf dan zakat adalah dua instrumen ekonomi umat yang diwariskan syariat Islam. Zakat dan wakaf selalu meninggalkan jejak. Peradaban Islam pasti meninggal kan jejak zakat dan wakaf. Situs peradab an yang masih ada atau rusak selalu ada jejaknya. Jadi, membicarakan peradab an pasti mengupas perkembangan zakat dan wakaf.

Dimanfaatkan untuk apa saja?

Wakaf untuk kepentingan umum. Sangat luas. Yang sangat disayangkan adalah zakat dan wakaf kini bukan menjadi instrumen kita. Padahal, keduanya berperan sangat besar bagi syiar dan perkembangan peradaban. Universitas al-Azhar Kairo Mesir terus berkembang sejak seribu tahun lalu karena wakaf.

Pondok Modern Darussalam Gontor di Ponorogo Jawa Timur juga berkembang dari wakaf. Trimurti pendiri Gontor mewakafkan tanah warisan orang tuanya untuk pendidikan. Aset wakaf dikelola secara pro fesional dengan sistem yang terus dipegang teguh, seperti kaderisasi sehingga aset wakaf terus dikembangkan untuk kepentingan umat.

Contoh lain adalah Muhammadiyah, memiliki sekitar 180 perguruan tinggi, ri buan sekolah, dan banyak rumah sakit, ter sebar di seluruh Indonesia. Semuanya ada lah aset wakaf. Kalau kita bicara Nah dla tul Ulama, ada 28 ribu pesantren. Apa kah kiai nya kaya sehingga mem bangun pesan tren sebanyak itu sendirian? Tidak. Di sana ada wakaf umat yang sedikit demi sedikit di manfaatkan untuk pembangunan pesantren.

Pewakaf bertambah dan mendukung perkembangan pesantren sehingga kapasitas dan pengaruh pesantren semakin berkem bang. Masih ada banyak lagi contoh institusi yang berkembang dari wakaf. Ini jejak peradaban. Karena itu, saya katakan zakat dan wakaf adalah instrumen ekonomi umat. Sayangnya, pemikiran tentang zakat dan wakaf ini hilang.

Bagaimana bisa hilang?

Karena, berganti dengan ekonomi kapitalis. Jadi, seolah-olah, kalau mau membangun sekolah, harus ada uang. Sejak kapan kita harus seperti itu? Kalau mau ber bisnis, harus ada uang dulu. Ini kapitalistik. Al-Azhar Kairo berkembang dari wakaf produktif. Ada perusahaan yang dibangun dari wakaf. Ada juga orang mewakafkan pertanian, yang sebagian keuntungannya dimanfaatkan untuk pengelolaan al-Azhar.

Gontor juga begitu. Ada unit usaha yang dimanfaatkan untuk mendukung berdirinya Pondok. Strategi seperti ini harus dihidupkan lagi apabila umat mau bangkit.

Beda zakat dan wakaf?

Zakat dan wakaf itu unik. Zakat wajib. Orang pasti melaksanakannya karena takut dosa. Sama seperti shalat, orang pasti akan melaksanakannya karena sudah diwajibkan. Orang kaya yang agamis sudah pasti membayar zakat. Tinggal kita siapkan program untuk lapak penampungan zakat mereka.

Sedangkan, wakaf adalah sunah muaka dah. Orang kalau tidak berwakaf tidak berdosa, hanya tidak mendapatkan kemuliaan, seperti yang dijanjikan Rasulullah. Saya selalu mengiyaskan begini, kita tidak perlu menyuruh orang shalat lima waktu. Orang sudah pasti melaksanakan itu selama meyakini agama karena takut akan ancaman Allah. Tapi, beda dengan shalat duha dan tahajud. Kalau diarahkan untuk melaksanakan dua shalat itu belum tentu mau karena tidak wajib. Tidak berdosa untuk meninggalkannya. Wakaf juga begitu. Orang bisa saja meninggalkannya karena tidak diwajibkan.

Dari sisi potensi, mari kita hitung bersa ma. Misalnya, ada orang memiliki uang Rp 1 miliar. Dia sudah pasti wajib membayar zakat 2,5 persen sekitar Rp 25 juta. Tujuannya, untuk menyucikan harta. Zakat pertanian 10 persen berarti Rp 100 juta. Ambil zakatnya. Selesai sudah.

Orang itu masih memiliki potensi Rp 900 juta lagi. Apakah zakat lagi? Tidak. Ini bisa disalurkan melalui wakaf. Ibadah satu ini adalah bagian dari sedekah yang kurang familiar di kalangan masyarakat kita. Sudah banyak orang yang mengam panyekan sedekah. Tapi, wakaf belum banyak yang mendakwahkannya. Ini ruang kosong. Ajaran wakaf ada, tapi belum banyak orang masuk di ruang tersebut.

Selama ini umat Islam hanya fokus pada zakat. Coba lihat kebanyakan masjid, apa ada panitia wakaf? Tidak ada. yang dibuka hanya lapak zakat. Itu pun hanya sekali dalam setahun dan hanya zakat fitrah. Setelah Ramadhan selesai, panitia zakat tak lagi bekerja. Padahal, zakat bukan hanya fitrah. Ada zakat harta yang ditunaikan sepanjang tahun. di luar Ramadhan ada orang baru menjual tanah atau ada yang baru dapat gusuran tanah untuk pembangunan jalan tol, misalnya.

Hartanya mencapai nisab sehingga harus bayar zakat, tapi panitia zakat di masjid sudah tu tup. Bagaimana mereka akan membayar zakat. Seharusnya panitia zakat terus bekerja. Pasang papan pengumuman bahwa masjid ini menerima zakat. Orang akan berdatangan untuk membayar zakat.

Pemaksimalan potensi wakaf ?

Wakaf harus diurus oleh panitia khusus. Potensinya jauh lebih besar. Yang disa yangkan saat ini umat Islam selalu mencari uang recehan. Misalnya, ada sepuluh orang yang masing-masing mempunyai har ta Rp 1 miliar. Kalau hanya zakat, per orang akan membayar zakat Rp 25 juta dikalikan sepuluh menjadi Rp 250 juta. Masih ada Rp 9,75 miliar belum terse rap. Sayang sekali.

Kata kuncinya dua, amanah dan citacita. Ada orang amanah, tapi tidak punya cita-cita, tidak bisa. Ada juga orang punya cita-cita, tapi tidak amanah. Aset wakaf dan zakat akan habis di tangan orang seperti itu. kita kasih Rp 100 miliar pun, orang tersebut tidak akan menjadikan aset wakaf bermanfaat.

Ada lagi orang yang amanah, tapi kelas berapa, sampai di mana dia amanah. A sedang membangun pesantren. Kemudian, datang seseorang mau mewakafkan uang Rp 100 juta. A bersyukur karena cita-cita un tuk membangun ruang kelas terwujud. Ke mudian, datang lagi pewakaf lain Rp 200 juta. Dia bersyukur lagi karena wakaf tadi bisa dimanfaatkan untuk membangun toilet.

Setelah itu, datanglah orang lain mau mewakafkan uang Rp 10 miliar. A bertanya-tanya, sepuluh juta pak? Bukan, melain kan sepuluh miliar. Sebentar dirapatkan dulu. Ketika sedang dirapatkan, orang yang mau mewakafkan tadi sudah pergi. Ini terjadi karena penerima wakaf tidak punya cita-cita yang panjang.

Kenapa orang mau berwakaf?

Ketahuilah, orang mau berwakaf karena yang ada di pikirannya adalah kema ti an, kuburan. Lha kalau yang ada di pikir an nya mo bil, orang itu tidak akan mewa kaf kan har tanya. Dia pasti dengan cepat akan mendatangi showroom, transaksi beli mobil dan langsung membawa pulang mobil baru.

Arti Amanah?

Amanah itu jujur, bertanggung jawab, dan bisa melaksanakan. Kalau tidak bisa melaksanakan, ya tidak amanah. Kita sebagai penerima wakaf harus punya citaci ta. Terima wakaf yang diberikan. Ucapkan terima kasih. Kemudian, sampaikan untuk menunggu. Setahun kemudian undang mereka untuk menghadiri peresmian hasil wakaf.

Sebelum ada orang mau berwakaf, kita harus sudah membuat perencanaan yang matang. Kita membuat perencanaan untuk 20 bahkan, 50 tahun mendatang. Gontor pada tahun 50-an sudah merencanakan perguruan tinggi. Itu adalah masa yang su lit. Banyak orang bertanya-tanya ketika itu. Santri Pondok ketika itu baru berapa.

Akses menuju Gontor tidak sebagus sekarang. Kader pondok masih terbatas. Bisa dibayangkan ketika itu bagaimana Kiai Ahmad Sahal bercita-cita mem bangun perguruan tinggi yang bermutu dan berarti. Kiai Sahal ketika itu berbicara, Kalimantan dan Sumatra latarku. Amerika, Afrika, Eropa, dolananku.

Ini cita-cita yang memotivasi santri ketika itu. Sekarang Gontor sudah banyak memiliki kader, berkembang semakin baik. Ini karena memiliki cita-cita. Umat seka rang ini jauh dari cita-cita. Mereka bercita-cita dengan melihat keadaan hari ini. Pa -dahal, cita-cita dan keadaan tidak ber hubungan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement