REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam melarang perkataan dusta kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu, semisal melindungi seorang yang tidak bersalah dari kejaran penguasa yang jahat. Bagaimanapun, ada suatu tindakan yang lebih memerlukan ketajaman akal ketimbang berbohong begitu saja.
Dalam arti, bersiasat. Tidak perlu tindakan yang lama dan berat. Siasat bisa saja dilakukan hanya melalui ucapan atau kata-kata. Itu membuat lawan bicara memahami sesuatu secara "berbeda."
Syekh Muhammad Khubairi dalam bukunya, Dzaka-u al-Fuqaha wa Daha-u al-Khulafa, menerangkan pelbagai contoh kepandaian bersiasat yang ditunjukkan sejumlah tokoh Muslim.
Misalnya, Abu Bakar ash-Shiddiq. Ketika itu, ia tersebut sedang menemani Nabi Muhammad SAW berhijrah.
Perjalanan dari Makkah ke Madinah—dahulu bernama Yastrib—sangat berisiko. Orang-orang di sepanjang rute ini mengetahui, kaum kafir Quraisy sangat mengincar Rasulullah SAW. Sebagian mereka bahkan berupaya memantau atau memata-matai Nabi SAW.
Di tengah perjalanan, saat sedang beristirahat, Abu Bakar tiba-tiba didatangi seorang pria. Laki-laki itu tanpa basa-basi bertanya kepadanya.
“Siapa lelaki itu?” tanyanya sembari menunjuk Nabi SAW.
Dengan tenang, Abu Bakar menjawab, “Dia adalah al-hadi yang menunjukkan jalan kepadaku.”
Dalam bahasa Arab, al-hadi dapat berarti 'penunjuk jalan.' Dikiranya, lelaki itu adalah penunjuk jalan bagi Abu Bakar yang sedang menuju ke utara.
Mendengar jawaban itu, pria tersebut kembali menaiki kudanya dan beranjak pergi.
Yang dilakukan Abu Bakar bukanlah berbohong, melainkan siasat. Yang dimaksudkannya adalah bahwa Nabi Muhammad SAW adalah pemberi petunjuk (al-hadi) menuju jalan yang diridhai Allah, yakni Islam. Sementara yang dipahami si pemburu adalah bahwa lelaki yang membersamai Abu Bakar sekadar penunjuk jalan.
Syekh Khubairi menyuguhkan contoh lainnya, yakni Imam Syafii. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, periode Mihnah pernah terjadi.
Mihnah berakar dari mahana, yumhinu. Artinya, ‘cobaan’, ‘ujian’, atau ‘bala.’
Dalam fase tersebut, kalangan penguasa yang fanatik terhadap pemikiran Mu’tazilah melakukan berbagai persekusi. Sasarannya adalah kaum ulama yang tidak sejalan dengan aliran tersebut.
Salah satu pokok pembeda kala itu adalah dukungan atau penolakan terhadap status “makhluk” pada Alquran.
Suatu hari, Khalifah memanggil Imam Syafii.
“Menurut Tuan, apakah Alquran adalah makhluk?” tanya sang raja.
Imam Syafii menjawabnya sambil menunjukkan jari telunjuk, “Ia adalah makhluk.”
Maka selamatlah ulama itu dari siksaan.