REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, putri beliau yakni Fatimah pernah meminta kepada khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq. Permintaan itu ialah agar dirinya diberikan warisan dari harta peninggalan Rasulullah SAW.
Namun, Abu Bakar menolak dengan halus permintaannya. Dalilnya, ada sabda Rasulullah SAW, “Kami para nabi tidak mewariskan harta. Apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah (milik umat)” (HR Bukhari dari 'Aisyah).
Dalam riwayat lain, dikisahkan bahwa Abu Hurairah merasa heran. Sebab, sahabat Nabi itu melihat banyak orang di salah satu sudut pasar di Madinah. Mereka tampak begitu riuh rendah dalam urusan dagang.
Kemudian, Abu Hurairah bertanya kepada mereka, “Kalian di sini terus menerus. Tahukah kalian bahwa warisan Rasulullah SAw sedang dibagi-bagikan di Masjid (Nabawi)?”
Maka orang-orang bergegas meninggalkan pasar untuk menuju Masjid Nabawi. Sesampainya di sana, ternyata tak tampak adanya pembagian warisan.
Dengan perasaan kecewa, mereka kembali ke pasar dan menemui Abu Hurairah.
“Tak ada pembagian warisan di masjid,” sanggah mereka.
Abu Hurairah menjawab, “Apa kalian tidak melihat di sana ada orang-orang yang sedang belajar tentang hukum-hukum Allah di majelis ilmu? Itulah warisan Nabi” (HR Thabrani dari Abu Hurairah).
Dua kisah ini menegaskan kepada kita bahwa warisan penting yang ditinggalkan Nabi SAW bukanlah harta, melainkan ilmu agama Islam. Karenanya, ahli waris beliau bukanlah keturunannya saja, tetapi juga seluruh ulama, baik pada zaman sahabat, tabiin, tabiut tabiin, hingga kini dan akhir masa.
View this post on Instagram
Nabi SAW pernah bersabda, "Ulama adalah ahli waris para nabi."
Sebagai ahli waris nabi, para ulama memikul beban dan tanggung jawab yang tidaklah ringan. Mereka wajib menyeru dan mengajak manusia ke jalan Allah melalui tabligh, amar ma'ruf nahi munkar, serta beramal saleh dan keteladanan budi pekerti.




