REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kondisi dokter dan tenaga medis lokal di Jalur Gaza terbilang memprihatinkan. Ketua Majelis Pertimbangan Anggota (MPA) Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) Prof dr Basuki Supartono SpOT mengatakan, dari informasi yang ia dapatkan, dokter yang sedang melakukan operasi korban di salah satu rumah sakit di Gaza bahkan sampai pingsan karena kelaparan.
Dokter lainnya mengalami kondisi serupa. Basuki yang menjadi Tim Emergency Medical Team (EMT) ke-4 BSMI-Rahma World Wide pada April lalu menjelaskan, dokter tersebut sedang berada dalam kondisi hamil saat bekerja di Rumah Sakit Nasser yang berada di Khan Younis. Dokter itu juga pingsan karena kurang nutrisi.
“Kondisi sekarang jauh lebih parah. Dulu saya masih bisa makan tiga kali sehari. Sekarang makannya cuma sehari. Pukul tiga sore,”jelas Basuki saat melepas Tim EMT ke-4 BSMI-Rahma World Wide yang akan bertugas ke Gaza, di Jakarta, Senin (4/8/2025).
Untuk itu, Basuki meminta agar para dokter menjaga kesehatannya. Dia mengungkapkan, para dokter dari Indonesia yang bertugas di Gaza harus membawa perbekalan berupa makanan siap saji agar bisa bertahan di Gaza.

Menghirup garam
Anggota tim EMT ke-3 BSMI, Dr. dr. Mohammad Kuntadi Syamsul Hidayat, M.Kes., MMR., Sp.OT, kepada Republika, beberapa waktu lalu, juga menjelaskan, salah satu koleganya di rumah sakit yang merupakan seorang dokter spesialis lokal, harus menahan lapar berhari-hari.
Sementara itu, anaknya harus menangis kelaparan.“Bahkan kemarin itu ada cerita dokter spesialis itu, ini mau nangis saya, itu menceritakan anaknya nggak bisa tidur nangis karena lapar,” ujar dia.
Dengan kondisi tersebut, koleganya memberikan rebusan air garam yang dihirup uapnya oleh sang anak untuk menahan rasa lapar.“Anaknya dokter spesialis bayangkan itu, tapi kemudian di, apa namanya, direbuskan air, dikasih garam, dihirup gitu uapnya itu,”kata dia.
Menurut Kuntadi, dokter itu ternyata juga sudah tidak makan selama dua hari sehingga harus mendapatkan infus sebanyak dua liter. “Dokter spesialisnya berkorban sekali,” ungkapnya.
Kuntadi menceritakan, warga Gaza sulit mendapatkan makanan. Jikapun ada, maka harganya sangat mahal. Dia mencontohkan, untuk mendapatkan gula, mereka harus membayar seharga 100 dolar AS per kilogram. Alhasil, banyak dokter yang sudah lama di sana tidak merasakan manisnya gula.
Karena itu, ujar Kuntadi, masyarakat Gaza menganggap makanan manis merupakan sesuatu yang terlalu mewah. Semua hidangan yang didapatkan memiliki satu rasa yaitu tawar. Namun, dengan segala kondisi yang terbatas, seluruh dokter yang ada tetap terus bekerja.