Kamis 11 Dec 2025 13:16 WIB

Pemerintah Dinilai tak Tanggap Atasi Bencana Sumatera

Pemerintah dinilai cenderung fokus mencari panggung bukan kecepatan penanganan

Warga menggunakan kabel baja yang  untuk menyeberangi Sungai Juli pascaputusnya Jembatan Juli di jalan lintas Bireuen - Takengon, Aceh, Selasa (2/12/2025). Kabel baja yang didesain khusus relawan bencana menjadi sarana penghubung untuk memobilisasi warga dan barang sejak putusnya jembatan Juli pada 26 November 2025 akibat banjir luapan Sungai Peusangan.
Foto: ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
Warga menggunakan kabel baja yang untuk menyeberangi Sungai Juli pascaputusnya Jembatan Juli di jalan lintas Bireuen - Takengon, Aceh, Selasa (2/12/2025). Kabel baja yang didesain khusus relawan bencana menjadi sarana penghubung untuk memobilisasi warga dan barang sejak putusnya jembatan Juli pada 26 November 2025 akibat banjir luapan Sungai Peusangan.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang agama dan ekonomi mendesak pemerintah untuk segera mengubah paradigma penanganan bencana di Sumatera, dari sekadar respons administratif menjadi tanggung jawab kemanusiaan dan spiritual.

Lambannya penetapan status bencana nasional di tengah lonjakan korban dan kerusakan parah memicu kritik keras, dengan dugaan adanya "kalkulasi politik" yang mengesampingkan kepentingan korban.

Baca Juga

Kritik ini disampaikan dalam diskusi Talkshow Ekoteologi yang diselenggarakan oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) pada Rabu (10/12/2025), dengan mengangkat tema "Reaksi Alam, Reaksi Kita."

Fachrurozi, Direktur Nurcholish Madjid Society, membuka diskusi dengan menggarisbawahi perlunya perubahan fundamental dalam cara publik dan otoritas berbicara tentang tragedi lingkungan. Ia menolak penggunaan istilah "bencana alam" karena dianggap mereduksi tanggung jawab manusia.

photo
Warga merunduk melewati tiang listrik yang roboh akibat banjir bandang di Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Sabtu (6/12/2025). Berdasarkan data BPBD setempat hingga Sabtu (6/12), banjir bandang mengakibatkan 57 warga Aceh Tamiang meninggal dunia dan 23 warga hilang, sementara berdasarkan data BNPB bencana banjir dan tanah longsor di Sumatra mengakibatkan 916 orang meninggal dunia dan 274 orang hilang. - (ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso)

"Kita tuh kan cenderung menyederhanakan ini bagian dari bencana alam. Padahal ini adalah bencana yang disebabkan oleh masyarakat, manusia kita sendiri gitu yang merusak alam. Kemudian kita alam seperti tertuduh gitu, dituduh alamnya dituduh padahal bukan itu maksudnya,"jelas Fachrurozi.

Ia menyarankan agar kejadian seperti banjir bandang di Sumatera disebut sebagai Bencana Ekologi atau Bencana Sumatera, untuk memperjelas bahwa kerusakan merupakan dampak dari keserakahan manusia. Ia juga menegaskan konsep ekoteologi yang sebenarnya merupakan gagasan sederhana tetapi sulit diterapkan.

"Ekoteologi kan secara terminologi misalnya, itu ada ada gagasan bahwa ada hubungan antara kelestarian lingkungan kelestarian alam dengan ibadah. Bagian integral kita. Jadi kelestarian lingkungan itu menjadi bagian integral dari ibadah manusia sebetulnya,"ujar dia.

 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Republika Online (@republikaonline)

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement