REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang agama dan ekonomi mendesak pemerintah untuk segera mengubah paradigma penanganan bencana di Sumatera, dari sekadar respons administratif menjadi tanggung jawab kemanusiaan dan spiritual.
Lambannya penetapan status bencana nasional di tengah lonjakan korban dan kerusakan parah memicu kritik keras, dengan dugaan adanya "kalkulasi politik" yang mengesampingkan kepentingan korban.
Kritik ini disampaikan dalam diskusi Talkshow Ekoteologi yang diselenggarakan oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) pada Rabu (10/12/2025), dengan mengangkat tema "Reaksi Alam, Reaksi Kita."
Fachrurozi, Direktur Nurcholish Madjid Society, membuka diskusi dengan menggarisbawahi perlunya perubahan fundamental dalam cara publik dan otoritas berbicara tentang tragedi lingkungan. Ia menolak penggunaan istilah "bencana alam" karena dianggap mereduksi tanggung jawab manusia.
"Kita tuh kan cenderung menyederhanakan ini bagian dari bencana alam. Padahal ini adalah bencana yang disebabkan oleh masyarakat, manusia kita sendiri gitu yang merusak alam. Kemudian kita alam seperti tertuduh gitu, dituduh alamnya dituduh padahal bukan itu maksudnya,"jelas Fachrurozi.
Ia menyarankan agar kejadian seperti banjir bandang di Sumatera disebut sebagai Bencana Ekologi atau Bencana Sumatera, untuk memperjelas bahwa kerusakan merupakan dampak dari keserakahan manusia. Ia juga menegaskan konsep ekoteologi yang sebenarnya merupakan gagasan sederhana tetapi sulit diterapkan.
"Ekoteologi kan secara terminologi misalnya, itu ada ada gagasan bahwa ada hubungan antara kelestarian lingkungan kelestarian alam dengan ibadah. Bagian integral kita. Jadi kelestarian lingkungan itu menjadi bagian integral dari ibadah manusia sebetulnya,"ujar dia.
Lihat postingan ini di Instagram




