REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali merupakan seorang teolog besar dalam sejarah peradaban Islam. Imam al-Ghazali berasal dari bangsa Persia. Dia dijuluki sebagai Hujjatul Islam (Pembela Islam) lantaran membela akidah agama ini.
Di Baghdad, ulama kelahiran tahun 1058 itu mencapai puncak kariernya selaku akademisi. Namun, ia sempat mengalami krisis sehingga memutuskan untuk pergi berkelana. Alim bermazhab Syafii tersebut memilih jalan sufi untuk mencapai ketenteraman hidup. Dia pun mewariskan banyak karya.
Berikut ini adalah sejumlah nasihat Imam al-Ghazali mengenai keutamaan pikiran yang bebas, sebagaimana disarikan Yusuf al- Qardhawi dalam bukunya, Al-Imam al-Ghazaly baina Madihihi wa Naqidihi. Tiga hal ini dapat menjadi keteladanan bagi kita,
Bersikap objektif
Menurut Yusuf al-Qardhawi, al-Ghazali menyerukan orang-orang agar meneliti suatu pendapat, bukan orang yang mengutarakan pendapat itu. Pesannya sebagai berikut, Janganlah mengetahui kebenaran lewat tokoh. Akan tetapi, ketahuilah kebenaran. Niscaya, (engkau) akan tahu siapa pemilik kebenaran itu.
Maknanya, jangan sampai kesukaan subjektif kita kepada seseorang membuat kita tidak adil dalam menilai perkataannya. Bila yang diucapkannya adalah suatu kebenaran, akuilah itu. Begitu pula sebaliknya. Tidak perlu terlalu fanatik pada seseorang atau suatu kelompok. Fanatisme buta hanya membebalkan pikiran.
Hikmah keraguan