REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Muhammad SAW telah mencontohkan akhlak yang terbaik untuk ditiru kaum Muslimin dan umat manusia pada umumnya. Di antaranya berkaitan dengan cara-cara bertamu dan memuliakan tamu.
Suatu ketika di Madinah, Nabi Muhammad SAW keluar dari rumahnya. Beliau lantas berpapasan dengan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Dua sahabat mulia itu kemudian mengucapkan salam kepadanya.
"Mengapa kalian keluar dari rumah pada jam seperti ini?" tanya beliau.
"Kami keluar karena merasa lapar," jawab Abu Bakar yang dibenarkan Umar.
"Demi Zat yang menguasai diriku, aku juga demikian," sambung Nabi SAW.
Maka mereka bertiga berjalan ke rumah seorang sahabat Anshar, tetapi orang yang dimaksud kebetulan sedang di luar. Hanya istrinya yang di rumah.
"Marhaban ya Rasulullah," seru perempuan itu gembira karena kedatangan tamu agung.
Rasulullah SAW dan kedua sahabatnya lalu menjawab salam itu. "Sedang ke mana fulan?" tanya Nabi SAW ketika mengetahui sahabat yang hendak didatanginya tidak ada.
"Suamiku sedang keluar untuk menimba air. Sebentar lagi insya Allah datang," jawab si istri.
Benar saja. Beberapa saat kemudian, sahabat ini datang. Maka Nabi SAW, Abu Bakar, dan Umar dipersilakan masuk.
"Alhamdulillah, hari ini akulah yang mendapatkan karunia tertinggi di kota ini," ujar sang tuan rumah. Maksudnya, dia begitu bahagia Rasulullah SAW dan dua sahabat mulia bersedia menjadi tamunya.
Para tamu itu kemudian diajaknya untuk masuk ke kebun kurma di belakang rumah. Maka pria ini mengambil kurma-kurma terbaik untuk dijadika suguhan kepada mereka.
Setelah itu, dia mengambil pisau karena hendak menyembelih domba yang paling gemuk. Melihat itu, Rasulullah SAW berkata, "Hendaknya engkau tidak menyembelih domba yang banyak susunya."
Maksudnya, beliau teramat sayang kepada keluarga Anshar ini. Sebab, susu domba itu masih dapat dimanfaatkan untuk suami-istri itu dan anak-anak mereka. Maka sang tuan rumah menyembelih domba yang lain.
Alquran telah mengabadikan bagaimana kaum Anshar membantu kaum Muhajirin saat awal-awal perjuangan Islam. Pada kondisi yang sangat kritis, penduduk lokal Madinah itu datang sebagai pahlawan Islam yang setia.
"Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung" (QS al-Hasyr: 9).