Senin 16 Sep 2024 14:53 WIB

Sejak Kapan Hadis Palsu Marak Beredar?

Ada konteks politik di balik sejarah persebaran hadis palsu.

Mewaspadai Hadis Palsu
Foto: cover buku awas hadits palsu
Mewaspadai Hadis Palsu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak syahidnya khalifah Utsman bin Affan di tangan para pemberontak, kerusakan (fitnah) mulai terjadi di mana-mana wilayah daulah Islam. Beberapa perang saudara terjadi. Kubu Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan bahkan saling berhadapan di Perang Siffin pada 657 M.

Setelah terjadi rupa-rupa konfrontasi, Hasan bin Ali menerima pemerintahan Muawiyah pada 41 H/661 M. Tahun tersebut dinamakan 'Am al-Jama'ah (Tahun Persatuan) karena kaum Muslimin kembali bersatu di bawah pimpinan seorang khalifah.

Baca Juga

Namun, nuansa damai dari `Am al-Jama’ah tidak berlangsung lama. Banyak elite Dinasti Umayyah—wangsa yang didirikan Muwaiyah, berpusat di Damaskus—masih saja memandang sinis (bekas) lawan politik mereka.

Padahal, kubu Ali nyata-nyata telah mengalami kekalahan-politik yang telak. Tetap saja, beberapa raja Bani Umayyah menerapkan kampanye negatif terhadap sepupu Nabi SAW itu, beserta anak keturunannya.

Sebagai contoh, khatib di masjid-masjid negara Umayyah sempat diharuskan oleh rezim untuk menutup khutbah Jumat dengan doa-doa keburukan bagi sang Karamallaahu Wajhah. Instruksi ngawur itu belakangan dicabut pada masa Umar bin Abdul Aziz, khalifah kedelapan Dinasti Umayyah.

Para ekstremis yang berdiri di pihak pro-Ali pun tak kurang parahnya. Mereka sering kali menjelek-jelekkan pemerintahan Umayyah. Bahkan, pada akhirnya Ali sendiri wafat akibat dibunuh Khawarij.

Periode antara Perang Siffin dan era Umar bin Abdul Aziz dipenuhi pergolakan politik yang begitu panas. Bagaimana tidak? Masing-masing kelompok, hanya untuk membela patron politiknya, tidak ragu membawa-bawa nama Nabi Muhammad SAW.

Pada masa itu, banyak muncul hadis-hadis palsu (maudlu’). Dengan “hadis” tersebut, pendapat (politik) mereka seolah-olah dibenarkan oleh sabda atau nubuat Rasulullah SAW.

Misalnya, perkataan kaum fanatikus Ali sebagai berikut, “’Aliyyun khairu al-basyari, man syakka fiihi kafar,”

‘Ali merupakan sebaik-baik manusia. Barangsiapa meragukannya, maka ia telah kafir.’

Teks itu adalah hadis palsu karena disandarkan pada Nabi SAW, padahal tidak berasal dari beliau. Tidak pernah dari lisan Rasulullah SAW keluar kata-kata demikian.

Para pelaku penyimpangan pun kian mudah dijumpai. Seakan tanpa rasa bersalah, mereka mengeklaim sebuah atau beberapa ungkapan sebagai sabda Nabi Muhammad SAW. Hadis-hadis palsu yang disebarkannya tidak lain bertujuan mendukung ideologi atau patron politik masing-masing.

Keadaan demikian tentu merisaukan ulama-ulama yang lurus. Seperti dikisahkan Ibnu Sirin, yang dikutip Imam Muslim dalam Shahih-nya, sebagai berikut.

“Para sahabat Nabi SAW (awalnya) tidak pernah menanyakan tentang isnad (silsilah hadis). Namun, ketika fitnah mulai tersebar, mereka pun berkata (kepada setiap pembawa teks hadis), ‘Coba sebutkan kepada kami sanad keilmuan kalian!’ Mereka kemudian memilah informasi (sehingga bisa dibedakan antara) ahli sunah dan ahli bidah (yang suka berbohong). Hadis yang disampaikan para ahli sunah, mereka terima. Hadis yang bersumber dari ahli bidah, mereka tolak.”

Dari sana, berkembanglah ilmu untuk mengetahui kredibilitas pembawa berita (khabar) hadis. Namanya, ilmu al-Jarah wa at-Ta’dil. Muncul kemudian kaidah-kaidah mengenali asal-usul pembawa khabar, yakni ilmu rijal. Lantas, ilmu sanad pun lahir untuk membuktikan, apakah silsilah sebuah khabar bersambung hingga kepada Nabi SAW atau terputus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement