REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika jumlah kaum Muslimin sudah meningkat signifikan, para penghafal (hafiz) Alquran pun kian banyak. Mereka umumnya sudah mampu membedakan antara kandungan Alquran dan perkataan Nabi SAW. Maka dari itu, pembolehan mencatat hadis pun terjadi.
Walaupun pada masa awal Islam sudah ada catatan-catatan hadis yang ditulis beberapa sahabat, penulisan hadis secara khusus baru dimulai sejak permulaan abad kedua Hijriyah.
Waktu itu, Muslimin diperintah Kekhalifahan Bani Umayyah. Raja kedelapan Dinasti Umayyah, Umar bin bin Abdul Aziz, mendukung upaya-upaya pembukuan sunnah.
Cicit Umar bin Khattab itu khawatir, banyak hadis Nabi SAW akan berangsur-angsur hilang kalau tidak segera dikumpulkan dan dibukukan.
Terlebih lagi, dia menyadari, banyak sahabat dan penghafal hadis telah berpulang ke rahmatullah. Dengan wafatnya mereka, umat semakin memerlukan ikhtiar nyata agar hadis-hadis terpelihara dari ungkapan-ungkapan orang lain yang dikira bersumber dari Rasulullah SAW (hadis palsu).
Dengan dukungan alim ulama, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan gubernur Madinah saat itu, Abu Bakar bin Muhammad, untuk mengumpulkan hadis dari para penghafal hadis.
Di antaranya adalah Amrah binti Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad cucu Abu Bakar ash-Shiddiq. Keduanya adalah ulama besar Madinah yang banyak menerima hadis, terutama dari riwayat ummul mukminin, 'Aisyah.
Seorang ulama lainnya, Muhammad bin Syihab Az Zuhri, juga diminta untuk mengumpulkan hadis dari para penghafal, tidak hanya di Hijaz tetapi juga Syam (Suriah). Dari generasi tabiin, Az Zuhri menjadi ulama pertama yang membukukan hadis.
Pengumpulan, penulisan, dan pembukuan hadis mulai saat itu makin berkembang. Selama abad kedua Hijriyah, cukup banyak ulama yang dikenal sebagai penghimpun hadis. Di antaranya adalah Malik bin Anas (Imam Malik), Abdul Malik bin Abdul Aziz al-Juraij, Hammad bin Salamah al-Bashri, dan Sufyan ats-Tsauri. Antusiasme studi ilmu hadis pun menyebar ke pelbagai wilayah kedaulatan Islam, tidak hanya di Jazirah Arab, tetapi juga Mesir, Suriah, dan Irak.
Pada masa itu, penulisan hadis masih mencampurkan antara sabda Rasulullah SAW dan fatwa para sahabat serta ulama tabiin. Sebagai contoh, kitab Al-Muwatta' karya Imam Malik.
Kitab-kitab hadis yang sezaman dengannya di kemudian hari disebut sebagai al-musnad atau al-mu'jam. Itu berarti, kitab-kitab itu disusun berdasarkan urutan nama sahabat yang menerima hadis dari Nabi SAW.
Kategori demikian dinamakan pula al-jami'. Sebab, kitab hadis itu memuat delapan pokok masalah, yakni akidah, hukum, tafsir, etika, tarikh, sejarah kehidupan Nabi SAW, akhlak, serta perbuatan baik dan tercela.