REPUBLIKA.CO.ID, Sejarah panjang dakwah Islam menunjukkan betapa beragamnya metode yang digunakan para ulama dalam menyampaikan risalah. Salah satu metode yang menonjol adalah mujadalah, sebuah pendekatan dakwah yang dilakukan melalui diskusi dan perdebatan dengan logika rasional, tetapi tetap menjunjung tinggi etika.
Secara bahasa, mujadalah berakar dari kata jaadala yang berarti berbantah-bantah, berdebat, hingga bermusuh-musuhan. Kata ini memang memiliki dua sisi, dapat bermakna negatif seperti pertengkaran, namun juga bisa bermakna positif yakni diskusi sehat yang melahirkan kebenaran.
Dalam istilah dakwah, mujadalah dipahami sebagai upaya bertukar pendapat antara dua pihak secara sinergis tanpa melahirkan permusuhan. Ibnu Sina, salah seorang filsuf besar Islam, menafsirkan jaadala sebagai ajang bertukar pikiran yang disertai persaingan untuk mengalahkan lawan bicara.
Sedangkan ulama al-Jurjani menekankan pada usaha mengokohkan pendapat masing-masing sembari berusaha menjatuhkan argumentasi lawan. Meski berbeda redaksi, keduanya menunjukkan bahwa mujadalah adalah interaksi intelektual yang penuh dinamika.
Alquran menekankan agar mujadalah dilakukan dengan cara yang baik. Allah SWT berfirman dalam surah An-Nahl ayat 125:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Artinya: "Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah) dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk." (QS An-Nahl [16]:125)
Ayat ini menegaskan mujadalah yang dikehendaki Islam adalah perdebatan yang bernuansa positif, yakni upaya menyampaikan kebenaran menuju Allah SWT dengan hikmah dan kelembutan.