REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Al-Imam Al-Mawardi dalam karya Al-Ahkam As-Sulthaniyah. Yaitu, memilih pemimpin hendaknya diorientasikan dalam rangka meneruskan tugas kenabian yang termanifestasikan dalam dua hal.
"Dua hal itu yakni untuk melestarikan ajaran agama (hirasatud diin) dan mengelola kesejahteraan dunia (siyasatud dunya)," kata Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Arif Fahrudin kepada Republika.co.id, Kamis (27/9/2023).
Kiai Arif mengatakan, dalam diri Rasulullah SAW tecermin jiwa sorang pemimpin sejati. Sedari kecil Rasulullah SAW terbiasa menggembala hewan ternak. Di usia remaja beliau pemimpin kafilah dagang milik Sayyidah Khadijah yang kelak menjadi ummil mukminin.
Saat polemik tentang siapa yang paling berhak menempatkan kembali Hajar Aswad ke Kabah saat renovasi Kabah, Rasulullah SAW terpilih sebagai sosok yang paling layak dipercaya.
Bahkan Rasulullah SAW mengakomodir semua pemimpin kabilah untuk bersama-sama membawa Hajar Aswad dengan surbannya. Inilah kepemimpinan gotong-royong.
"Di saat menjadi Nabi dan Rasul, Rasulullah SAW memimpin Makkah dan Madinah dengan prinsip dan nilai egalitarianisme yang tercermin dalam Piagam Madinah. Semua manusia sederajat di hadapan Allah SWT tanpa diskriminasi, kecuali urusan takwa," ujar Kiai Arif.
Kiai Arif menyampaikan, Rasulullah SAW sangat menghargai dan menghormati hak-hak non-Muslim. Sehingga beliau sempat bersabda, "Siapa saja yang menyakiti kafir dzimmy (kafir yang dilindungi Islam, maka dia telah menyakitiku (Nabi Muhammad SAW), dan siapa yang menyakitiku, maka dia telah menyakiti Allah SWT (al-Hadis)."
"Siapa saja yang membunuh kafir dzimmy (kafir yang dilindungi umat Islam) dengan sengaja, maka dia tidak akan menghirup aroma surga. Padahal aroma surga itu dapat tercium dalam empat puluh tahun perjalanan" (HR an-Nasai).
Kiai Arif mengatakan, kepemimpinan yang humanis dan egaliter dalam diri Rasulullah SAW menginspirasi dunia modern jauh sebelum lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Bahkan Michael H Hart dalam karyanya The 100: A Ranking The Most Influential Persons on History, tak ragu menempatkan diri Rasulullah SAW sebagai tokoh dunia urutan pertama tokoh paling berpengaruh di dunia.
Begitulah idealnya politik yang diambil dalam diri Rasulullah SAW. Berpolitik dengan nilai-nilai akhlak luhur, berpolitik dengan mengedepankan harkat martabat kemanusiaan, dan berpolitik dengan kepemimpinan yang meneladankan. Berpolitik dengan orientasi keadilan. Berpolitik yang melindungi, mengayomi, dan menenteramkan.
"Nilai-nilai politik kepemimpinan Rasulullah SAW itulah hendaknya menginspirasi perjalanan dan dinamika perpolitikan kita. Sehingga nilai-nilai Islam Rahmatan lil Alamin termanifestasikan dalam relung perpolitikan nasional," ujar Kiai Arif.
Baca juga: Temuan Peneliti Amerika Serikat dan NASA Ini Buktikan Kebenaran Alquran tentang Kaum Ad
Dia mengatakan, memaksimalkan momentum peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada tahun politik ini, proses politik hendaknya melahirkan sosok pemimpin yang akan menjauhkan rakyat yang dipimpinnya dari saling tikai dan bermusuhan (himayatur ra'iyyah minal i'tida'). Pemimpin yang berorientasi kepada kemaslahatan publik (tadbir mashalihir ra'iyyah), dan mewujudkan pemerintahan yang baik dan modern (siyasatul hukumah al-fadhilah).
Pemimpin yang kuat, sehat jasmani rohani, serta memiliki jejak rekam kuat akan cinta Tanah Air dan persatuan bangsanya. Sebagaimana rasa cinta Rasulullah SAW terhadap tanah airnya yaitu Makkah saat beliau bersabda, "Sesungguhnya engkau Makkah adalah tanah terbaik, bumi yang paling dicintai Allah. Andai aku tidak terpaksa meninggalkanmu (ke Madinah), niscaya aku tidak akan keluar darimu (Makkah)" (HR Turmudzi).