REPUBLIKA.CO.ID,LONDON -- Ketua dewan pengurus Masjid Didsbury, Manchester, Fawzi Haffar mengatakan, dia akan melakukan apa saja untuk mencegah kekejaman serangan Manchester 2017. Haffar mengatakan, dia merasa Masjid Didsbury digunakan sebagai kambing hitam, setelah berada di bawah pengawasan ketat selama Penyelidikan Arena Manchester.
Pelaku bom bunuh diri Arena, Salman Abedi dan keluarganya beribadah di pusat tersebut. "(Masjid) tidak memiliki ruang untuk radikalisasi," kata Haffar dilansir dari laman BBC pada Kamis (2/3/2023).
Sebanyak dua puluh dua orang tewas dan ratusan lainnya terluka ketika Abedi meledakkan bom rakitannya di akhir konser Ariana Grande pada 22 Mei 2017.
Perwakilan beberapa keluarga yang berduka, John Cooper KC, sebelumnya mengatakan ketika penyelidikan bahwa masjid telah gagal menghadapi ekstremisme hingga 2017, dan terus melakukannya hingga hari ini. Dia mengatakan, pusat tersebut telah menutup mata terhadap pandangan ekstrimis dan kekerasan di antara bagian-bagian jamaahnya, serta mengadopsi sikap pasif terhadap bahaya radikalisasi.
Kendati demikian, Pete Weatherby KC yang mewakili beberapa keluarga lain mengatakan, tidak ada bukti bahwa keluarga Abedi diradikalisasi di Masjid Didsbury.
"Bagaimana orang bisa mengatakan kita telah radikalisasi atau meradikalisasi orang? Anak-anak saya bisa saja berada di arena. Ada anak-anak Muslim di arena," kata Haffar.
"Apa yang dilakukan Salman Abedi adalah jahat dan dia pasti tidak menjadi radikal dengan mendengarkan khotbah 10 menit di sini atau bergabung dengan apa yang disebut teroris atau orang radikal lainnya di pusat ini. Jika kami tahu bahwa Salman Abedi adalah seorang radikal, jika kami diberitahu oleh dinas keamanan atau diperingatkan oleh polisi untuk 'hati-hati terhadap orang ini', saya akan melakukan apa saja untuk mencegah apa yang terjadi. Apa saja," lanjutnya.
Haffar mengatakan, dia merasa Masjid Didsbury dikambing hitamkan dan menyerukan penyelidikan parlemen atas apa yang diketahui dinas keamanan tentang keluarga Abedi. Dia mengatakan, dia tidak pernah diberitahu tentang masalah apa pun oleh polisi atau petugas kontra-terorisme.
"Jika kita tidak mengetahui orang-orang radikal yang datang ke pusat ini untuk shalat, saya tidak dapat membantu polisi," kata dia.
Abedi diyakini sesekali menghadiri sesi sholat Jumat di masjid tersebut. Sementara Kakak laki-lakinya Ismail mengajar di pusat itu, sebelum dia berangkat ke Libya pada 2011. Sedangkan ayahnya Ramadan Abedi terkadang mengumandangkan adzan.
Haffar mengatakan, mungkin ada hingga 1.100 orang pada sholat Jumat, yang terbuka untuk umum. Sesi lain biasanya hanya memiliki 30 hingga 40 jamaah inti.
Penyelidikan arena juga mendengar tuduhan masjid menjadi tuan rumah pertemuan para pendukung kelompok teroris yang berperang dalam perang saudara Libya sebelum pengeboman arena.
Di samping itu, pada 2018, dua cendekiawan Islam mengatakan, bahwa khotbah yang disampaikan di masjid saat sholat Jumat enam bulan sebelum Abedi meledakkan bom bunuh diri menyerukan jihad bersenjata. Hal ini kemudian dibantah pihak masjid.
Petugas kontra-terorisme menyelidiki dan kemudian menyimpulkan bahwa tidak ada pelanggaran yang dilakukan.
Haffar mengatakan, bahwa sementara dia tidak percaya Salman Abedi bisa mendengar apa pun di masjid yang bisa mendorong pandangannya, pusat telah membuat perubahan termasuk pemeriksaan menyeluruh mereka yang sekarang memberikan khotbah. "Saya dapat dengan pasti mengatakan bahwa tidak mungkin dia diradikalisasi di pusat di sini di Manchester," kata dia.
Sementara seorang imam sukarelawan di masjid tersebut, Salim Al-Astewani, menambahkan: "Jelas Anda tidak dapat mengontrol setiap individu tetapi hal utama adalah bahwa ada sistem manajemen yang tepat dan setiap khotbah, setiap kegiatan, dirancang dengan baik, dipersiapkan dengan baik."
Sumber:
https://www.bbc.com/news/uk-england-manchester-64801301