REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Secara etimologi, kurban atau qurban berarti 'mendekatkan diri.' Secara terminologi kurban berarti berjuang secara benar atas dasar takwa dan sabar, baik harta, tenaga, maupun jiwa dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah serta memperoleh keridhaan-Nya.
Sering kali harta, tenaga, dan jiwa menjadi 'korban', belum menjadi 'kurban.' Hal ini lantaran dikeluarkannya bukan atas dasar takwa, sabar, dan ikhlas karena Allah.
Sebagaimana peristiwa pada suatu Hari Raya Idul Adha ada salah seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Burdah menyembelih domba sebelum pelaksanaan shalat Idul Adha. Sehingga, ia hanya disebut berkorban belum berkurban, karena melakukan amal perbuatan tanpa melalui perintah dan aturan Rasulullah SAW. Ada juga peristiwa hijrahnya Muhajir Ummu Qeis--hijrah karena terpikat wanita ia bukan kurban tapi hanya korban, niatnya bukan karena Allah.
Memurnikan niat dalam setiap amal merupakan langkah awal dari penyucian jiwa dan persyaratan diterimanya ibadah kurban seseorang (QS Al-Bayyinah [98]: 5).
Dalam satu hadis Umar bin Khathab menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya amal perbuatan bergantung pada niatnya, dan setiap orang memperoleh apa yang diniatkannya. Barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, barangsiapa niat hijrahnya kepara urusan dunia, niscaya hijrahnya sesuai dengan apa yang telah diniatkannya.'' (HR Khamsah).
Sejarah telah mencatat tentang kurbannya Qabil yang ditolak Allah karena tidak ikhlas dan kurbannya Habil yang diterima Allah karena ikhlas (QS Al-Maidah [5]:27).
View this post on Instagram