REPUBLIKA.CO.ID, SUMENEP -- Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Senin (28/3/2022), menggelar seminar bertajuk Sosialisasi Ideologi Pancasila di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika), Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Pada acara yang dihadiri oleh ratusan civitas akademika Instika itu, mahasiswa diberi penjelasan tentang sejarah Salam Pancasila.
Penjelasan itu disampaikan Kepala BPIP Prof KH Yudian Wahyudi yang juga menjadi pembicara kunci pada seminar itu. Prof Yudian menegaskan, salam Pancasila bukan pengganti salam keagamaan tetapi salam persatuan untuk kebangsaan.
Salam ini sejatinya dikenalkan Presiden pertama RI Sukarno pada 1945. "Bung Karno bilang kita ini kemajemukannya berlapis-lapis. Supaya tidak repot dengan hal-hal sensitif, maka perlu ada salam pemersatu kebangsaan," kata Prof Yudian mengutip pernyataan Bung Karno.
Bung Karno, lanjut Prof Yudian, pada saat itu mencontohkan, Nabi Muhammad punya salam pemersatu yakni assalamualaikum. Sementara, Indonesia adalah negara Pancasila yang bukan negara satu agama tapi negara yang beragama.
Oleh karena itu, dicarilah salam yang bisa merangkum semua yang tidak menimbulkan perbedaan. Karena itu, Bung Karno mengusulkan salam merdeka yang bentuk gerakannya seperti salam Pancasila sekarang ini.
"Tapi lama-lama kan, kita ini sudah merdeka, masa mau ngomong merdeka lagi," kata Yudian.
Karena itu, oleh Ibu Megawati Soekarnoputri selaku ketua Dewan Pembina BPIP, salam merdeka Bung Karno diadopsi menjadi salam Pancasila.
Bentuk gerakannya yaitu mengangkat tangan kanan lima jari di atas pundak sedikit. Ini maksudnya adalah mengamalkan kelima sila Pancasila dan harus ditanggung dan menjadi kewajiban bersama-sama rakyat Indonesia.
Kemudian, setiap jemari tidak berpisah. Ini maksudnya adalah antara sila satu dengan yang lainnya saling menyatu dan menopang.
"Saya sebagai Muslim, menambahkan makna Pancasila ini, kalau salam dalam Islam itu sebetulnya kan mendoakan. Kalau Assalamualaikum itu artinya semoga keselamatan (diberikan) kepada anda, maka salam Pancasila maksudnya adalah semoga anda damai dan aman di negara berdasarkan Pancasila ini.
"Jadi Pancasila ini adalah doa," kata Yudian.
Karena itu, Yudian menegaskan bahwa salam Pancasila bukanlah untuk menggantikan salam keagamaan seperti Assalamualaikum. Apalagi,dalam Islam itu ada dua macam ibadah yaitu ibadah mahdoh yang benar-benar tak bisa diubah dan ada ibadah muamalah atau ibadah sosial kemasyarakatan.
"Kalau ibadah ghoiru mahdoh atau muamalah redaksinya boleh disesuaikan (dengan kondisi masyarakat)," kata Prof Yudian.
Karena itu, Yudian mengatakan bahwa mengucapkan Pancasila juga merupakan bentuk kebaikan. Dan bisa bernilai ibadah karena mendoakan orang untuk mendapatkan keamanan dan kedamaian di negerinya. "Perbuatan baik itu kalau diniatkan ibadah maka bernilai ibadah," kata Prof Yudian.
Sementara, Rektor Instika KH Ahmad Syamli Muqsith mengapresiasi acara yang digelar oleh BPIP dan bekerja sama dengan Dewan Mahasiswa Instika ini. Dia berharap pembinaan oleh BPIP di Insitika berkesinambungan. Misalnya, dalam bentuk MoU atau kajian-kajian tentang nilai-nilai Pancasila.
KH Syamli juga mengatakan, civitas akademika Instika baik santri maupun mahasiswa dan dosennya tak perlu diragukan tentang ke-Pancasilaannya. Karena, Pancasila sudah mendarah daging bagi warga Instika.
Acara seminar ini dihadiri oleh unsur pimpinan BPIP. Selain Prof Yudian Wahyudi selaku kepala BPIP, juga hadir Sekretaris Utama BPIP DR Karjono, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Romo Benny Susetyo, Deputi Bidang Hubungan, Sosialisasi, Komunikasi, dan Jaringan Prakoso, serta Direktur Sosialisasi dan Komunikasi M Akbar Hadiprabowo. Selain itu, acara ini juga dihadiri oleh Forkompinda Kabupaten Sumenep dan civitas akademika Instika.
Sementara para narasumber terdiri dari sejumlah kalangan. Di antaranya dari BPIP dan sejumlah akademisi seperti Wakil Rektor Instika KH Muhammad Husnan A Nafi, Ketua KPU Kabupaten Sumenep A Warits, dan Diah Puspita Sari dari Insititut Sarinah.