Ahad 25 Apr 2021 04:46 WIB

Jalan Panjang Muhammad Asad, Yahudi yang Menjadi Mualaf

Muhammad Asad sebelumnya adalah jurnalis Yahudi dan menjadi mualaf.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
Muhammad Asad saat bersama pendiri Arab Saudi.
Foto:

Hal ini merupakan salah satu cara untuk memahami Asad. Dia tidak muncul dari tatanan politik dan budaya yang mudah berpuas diri. Dia muncul dari sebuah ordo, yang baru saja mengalami keruntuhan total.

Gelisah dan tidak bisa fokus, Asad keluar dari universitas untuk mengejar karir sebagai penulis. Ayahnya menentang keputusan seperti itu dan memotong uang bulanannya sebagai hukuman.

Sendiri, Asad melakukan perjalanan ke Berlin, di mana dia bermain-main dengan dunia seni untuk sementara waktu. Ia menulis naskah film dan menghabiskan apa pun yang dia punya untuk pesta sepanjang malam yang melibatkan minuman keras dan wanita. Namun di sebagian besar waktunya, dia tetap kekurangan uang.

Dia sempat bekerja untuk sebuah kantor berita dan mencetak berita hangat ketika dia mewawancarai Madame Gorky, istri dari penulis terkenal Rusia, Maxim Gorky. Tapi, Asad tidak pernah benar-benar menetap.

Eropa seolah tidak lagi menjadi rumahnya. Sesuatu yang lain memanggilnya, yaitu panggilan ke Islam, di mana jalannya akan melewati Yerusalem.

"Asad jatuh cinta pada orang Arab, sebelum dia jatuh cinta pada Islam," kata seorang profesor agama di Duke University, Shalom Goldman. Ia sedang menulis sebuah buku tentang promiment Yahudi yang masuk Islam.

Islam adalah cara menjadi orang Arab. Itulah sebabnya, alih-alih bersekolah di sekolah agama, Asad tinggal bersama suku Badui selama enam tahun di Arab Saudi. Baginya itulah budaya otentik yang sesungguhnya.

Asad pertama kali menjumpai dunia Muslim pada tahun 1922, ketika dia melakukan perjalanan ke Palestina atas undangan pamannya, Dorian, seorang psikiater dan salah satu murid Freud.

Waktu itu adalah masa pergolakan politik dan perselisihan di Palestina. Zionis sedang berupaya melobi untuk sebuah bangsa bernama Yahudi, yang terkadang menggunakan kekerasan. Puluhan ribu orang Yahudi bermigrasi ke Palestina dari Rusia dan tempat lain, berupaya mengubah demografinya.

Bagi Asad, tampak jelas jika orang Badui Arab Muslim setempat lekat dengan kejujuran, kesederhanaan dan unta. Mereka lebih mirip dengan karakter Ibrani yang dia pelajari sebagai anak laki-laki dalam Perjanjian Lama, daripada seorang Yahudi Eropa modern.

Dalam beberapa kesempatan, Asad berkonfrontasi dengan para pemimpin Zionis seperti Dr Chaim Weizmann. Ia mendorong mereka untuk menjelaskan bagaimana orang Yahudi dapat mengklaim memiliki lebih banyak hak daripada orang Arab Palestina, yang telah tinggal di wilayah tersebut selama dua ribu tahun.

"Anti-Zionisme Asad mengakar kuat. Itu bukanlah sesuatu yang dia adopsi semata agar lebih diterima oleh Muslim," kata Kramer.

Salah satu teman terdekat Asad di Palestina, Jacob de Haan, yang berprofesi sebagai jurnalis Yahudi Belanda dibunuh oleh ekstremis Zionis. Ia dibunuh karena penentangannya yang gigih terhadap cara orang Arab diperlakukan.

Bertahun-tahun kemudian, ketika Israel mencoba untuk mengklaim seluruh Yerusalem, Asad terus membela hak-hak orang Palestina.

Dalam artikel The Vision of Jerusalem yang diterbitkan pada tahun 1982, Asad menulis Zionis ingin menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel selamanya. Namun, ia menekankan keabadian adalah atribut yang hanya dimiliki Tuhan.

Dia lantas berbicara dan menulis tentang bagaimana Islam memandang Yerusalem sebagai "Kota Suci" untuk semua agama. Daerah itu bukanlah real-estate yang diberikan sebagai warisan kepada orang-orang Yahudi saja.

"Asad mungkin adalah orang pertama yang mengartikulasikan ide kolonialisme Zionis sebelum para pemikir Marxis menjadikannya populer di tahun 1960-an dan 70-an," kata Goldman.

Selama tinggal di Palestina dan perjalanan ke Yordania, Mesir, maupun wilayah Muslim lainnya selama beberapa tahun berikutnya, Asad mengembangkan ketertarikan pada orang Arab dan cara hidup mereka.

Kisah hidupnya diterbitkan di Frankfurter Zeitung, salah satu jurnal Jerman yang paling dihormati. Dalam kisah itu, dituliskan tentang orang Arab sebagai orang-orang yang "diberkati". Mereka menjalani kehidupan yang sangat sederhana, yang secara garis lurus mengarah dari lahir sampai mati. Artikel-artikelnya kemudian disusun sebagai buku pertamanya, The Unromantic Orient.

Bertahun-tahun kemudian, ketika diminta untuk berbicara tentang terjemahan Alqurannya, Asad malah mendedikasikan sebagian besar pidatonya tentang mengapa dia pikir Tuhan memilih untuk mengirim utusan terakhir-Nya ke tanah Arab.

Kehidupan yang sulit di gurun membuat orang Badui menyadari betapa tidak pentingnya dirinya. Seorang Badui menghargai jika di luar banyaknya dewa suku Arab, harus ada satu Yang Tertinggi yang menopang kehidupan.

Setelah pengalamannya di Palestina, dia melakukan perjalanan lebih jauh ke semenanjung Arab, tempat yang sekarang menjadi Arab Saudi. Ia menghabiskan hidup dalam kehidupan gurun dan menjadi orang Arab, sebagaimana terbukti dari penguasaannya atas bahasa Arab.

sumber : TRT World
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement