REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Suatu hari di bulan September 1926, seorang jurnalis muda Yahudi, Leopold Weiss, naik kereta Berlin. Di sekelilingnya, ia melihat wajah-wajah yang tidak bahagia dan hampa.
Kebudayaan tinggi Eropa, kemajuan ilmu pengetahuan dan materi belumlah cukup untuk membahagiakan rakyatnya. Pada saat Weiss naik ke peron lagi, dia yakin keselamatan dan kebahagiaan ada di tempat lain. Seperti cerita lain yang telah menyebar, saat itulah ia ingin menjadi seorang Muslim..
Weiss lahir pada tahun 1900 dari orang tua Yahudi yang nenek moyangnya adalah pemuka agama kerabian. Ia secara resmi masuk Islam beberapa hari setelah perjalanan Berlin itu.
Ketika dia meninggal, hampir satu abad kemudian pada tahun 1992, dia menjadi seorang intelektual yang dikenal di seluruh dunia Muslim sebagai Muhammad Asad.
Memoarnya yang terkenal, The Road to Mecca, telah membantu memperkenalkan Islam kepada banyak orang.
Terjemahan Alquran milik Asad dalam bahasa Inggris disandingkan dengan terjemahan Marmuduke Pickthall dan Abdullah Yusuf Ali.
Baca Juga: Yahudi Penghuni Israel Kini, Bukan Keturunan Nabi Ibrahim?
"Mungkin tidak ada buku lain kecuali Alquran itu sendiri yang menyebabkan lebih banyak orang masuk Islam," tulis seorang diplomat Jerman yang juga mualaf, Murad Hofmann, dikutip di TRT World, Sabtu (24/4).
Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan, menyebut Asad smerupakan motivasi yang membawanya ke jalur religius. Tokoh lainnya, Margaret Marcus merupakan seorang wanita muda Yahudi yang meninggalkan kehidupan di New York untuk tinggal di Lahore, setelah membaca The Road to Mecca. Dia mengadopsi nama Maryam Jameelah dan menjadi cendekiawan Islam yang terkenal.
Pertobatan yang ia lakukan tidak lain adalah hasil dari wahyu yang tiba-tiba. Hal itu sebagian besar juga berkaitan dengan kekacauan yang disaksikan Asad muda di Eropa, setelah Perang Dunia I.
Asad dibesarkan di Lwow, sebuah kota yang pada awal abad ke-20 merupakan bagian dari Austria. Ayahnya merupakan seorang pengacara kaya.
Meskipun orang tuanya tidak terlalu religius, seorang guru privat melatihnya memahami kitab suci Yahudi. Pada waktunya, ia dengan percaya diri mendiskusikan eksegesis Alkitab, kumpulan komentar religius yang kompleks. Setelah masuk Islam, pengalaman ini membantu pemahamannya tentang Alquran.
"Jadi, pada usia tiga belas tahun, saya tidak hanya bisa membaca bahasa Ibrani, tetapi juga berbicara dengan sangat lancar. Sebagai tambahan, saya cukup mengenal Aramiac," tulis Asad di bukunya.
Agama adalah hal terakhir yang ada di benaknya ketika ia masuk Universitas Wina pada tahun 1920, untuk mempelajari sejarah seni. Hari-harinya dihabiskan untuk mempelajari filosofi, sementara malam hari ia akan berada di klub.
Baca Juga: Yahudi Lebih Sedikit dari Islam, tapi Mengapa Mereka Kuat?
Dia dengan cepat berbaur dalam berbagai lingkaran sastra, yang akan berkumpul di kafe-kafe Wina untuk membahas penemuan Sigmund Freud di bidang psikoanalisis. Seperti anak muda lainnya, Asad berusaha mencari jawaban setelah Perang Dunia I yang melanda Eropa antara tahun 1914 dan 1918.
"Eropa berada dalam krisis moral. Peradaban barat hampir menghancurkan dirinya sendiri selama perang. Seluruh generasi pemuda dimusnahkan. Tetapi itu juga merupakan periode yang dinamis. Orang tidak dibatasi oleh dogma lama dan mereka mencari sumber spiritual baru," kata sejarawan Israel yang menulis tentang Asad, Martin Kramer.