REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah Turki Usmani tak lagi memerintah, Muslim di Montenegro mendapat tekanan. Mereka terus berjuang bertahan hidup dengan meninggalkan rumah mereka. Sebagian besar pergi mengungsi ke Bosnia, Sandzak, dan Albania.
Muslim diusir dari Novo, Herceg Novi, pada 1687, dari Kuca pada 1688, dan dari Ce tinje pada 1771. Pada 1878, ketika masya ra kat internasional memperluas perbatasan Montenegro dengan keputusan Kong res Berlin, umat Islam di Zabljak, Spuz, Podgorica, Kolasin, Niksic, Bar, Plav, dan Gusinje menghadapi masalah yang sama.
Setelah perluasan teritorial pada periode 1878 sampai 1910, lebih dari 25 ribu atau 80 persen dari penduduk Montenegro bermigrasi dari wilayah Montenegro yang baru terbentuk. Ketika terjadi Perang Balkan pada 1912-1913, pemerintah memperluas batas-batasnya ke utara dan menempati Mojkovac, Bijelo Polje, Pljevlja, Berane, Rozaje, Plav, dan Gusinje. Lagi-lagi Muslim di sana menghadapi dis kriminasi. Mereka dianiaya. Warisan budayanya dihancurkan.
Pada 1912, populasi Muslim mencapai 80 persen. Mereka kembali mengalami ke ke rasan dan mencari perlindungan ke Turki. Sebanyak 88 ribu Muslim pergi ke Turki. Kekerasan terhadap Muslim juga terjadi pada 1924. Peristiwa berdarah terjadi di Bjelovar- Bihor dan Pljevlja, kemudian di Lembah Kovin, hingga seluruh wilayah Montenegro.
Semua masjid dibakar ketika itu. Seluruh barang yang berkaitan dengan Islam hancur. Saat Yugoslavia jatuh tahun 1991, umat Islam mengalami trauma. Mereka kembali mengungsi ke wilayah barat. Pada 1993, banyak masjid dibakar dan diledakkan. Baru pada 2000, madrasah kembali di bangun di Desa Miljes, Podgorica. Tak hanya madrasah, bangunan ini juga menjadi pusat Islam Montenegro.