REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat menunaikan shalat jamaah di masjid atau rumah, perempuan akan menjadi makmum bagi lakilaki. Sang imam memimpin shalat jamaah lakilaki dan perempuan. Pada suatu saat, perempuan bisa menjadi imam yang jamaahnya perempuan. Ada juga kalangan yang menyebutkan perempuan bisa menjadi imam yang ada jamaah lakilakinya.
Pandangan perempuan dapat saja menjadi imam jamaah yang di dalamnya ada lakilakinya, melahirkan perbedaan pendapat. Kebanyakan ulama menegaskan, perempuan tak bisa menjadi imam untuk lakilaki. Soal imam perempuan, Syekh Kamil Muhammad Uwaidah mengatakan, disunahkan perempuan mengimami jamaah perempuan.
Dalam penjelasan di bukunya, Fikih Wanita, Syekh Kamil menguatkan pan dangannya dengan hadis yang menjelaskan bahwa Aisyah pernah mengimami kaum perempuan. Dia berdiri satu baris an bersama mereka. Ummu Salamah juga pernah mengerjakan hal yang sama. Rasulullah, jelas dia, pernah memerintahkan Ummu Waraqah mengumandang kan azan dan mengimami shalat yang ia kerja kan bersama keluarganya. Bolehkah pe rempuan menjadi imam bagi lakilaki? Cen dekiawan Muslim, Nasar ud din Umar me nyatakan, terdapat perbedaan pendapat.
Menurut dia, kitab Bidayah alMujtahid yang ditulis Ibnu Rusyd, menjelaskan se cara khusus hal tersebut dengan menam pilkan perbedaan di antara ulama. Keba nyakan ulama, termasuk imam empat mazhab menyatakan perempuan tak boleh menjadi imam shalat atas lakilaki. Sedangkan ulama yang membolehkan adalah Abu Tsaur, Ibnu Jarir alThabari, dan Imam alMuzani. Nasaruddin melalui bukunya, Fikih Wanita untuk Semua, meng ungkapkan pendapat yang melarang salah satunya merujuk pada hadis riwayat Jabir yang tercantum dalam Sunan Ibnu Majah.
Dalam hadis itu, Rasulullah SAW me nyatakan janganlah sekalikali perempuan menjadi imam shalat bagi lakilaki, orang Arab Badui bagi orangorang Muhajir, dan orang jahat bagi orang Mukmin. Riwayat yang menerangkan Rasul memerintahkan Ummu Waraqah menjadi imam shalat di lingkungannya, menjadi argumen mereka yang membolehkan.
Rasulullah telah memerintahnya (Ummu Waraqah) untuk mengimami ke luarganya dan ia mempunyai seorang muazin dan menjadi imam anggota ke luarganya. Menurut Nasaruddin, hadis ini diperoleh melalui dua jalur, yaitu dari Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud.
Ia melanjutkan, meski hadis ini sahih sayangnya tak didukung fakta sejarah yang masyhur. “Untuk itu, perlu diteliti lebih jauh sebab munculnya hadis tersebut,” kata Nasaruddin. Ia mempertanyakan apakah tidak populernya perempuan menjadi imam shalat di antara kalangan lakilaki disebabkan adanya riwayat lain yang melarang?
Leila Ahmad, penulis Women and Gender in Islam; Historical Root of Modern Debate, menjelaskan pelarangan perempuan secara legal dan institusional dimulai sejak Khalifah Umar. Lewat fatwanya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan ha ram hukumnya dan tidak sah perempuan menjadi imam shalat berjamaah, yang di antara makmumnya adalah lakilaki.
Perempuan yang menjadi imam bagi jamaah perempuan, ujar mereka, hukumnya mubah. Menopang fatwanya, MUI mengajukan sejumlah dasar argumennya. Di antaranya Surah AnNisa ayat 34, yang menjelaskan kaum lakilaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan karena Allah SWT telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian lainnya. Dasar lainnya adalah hadis yang diriwayatkan Bukhari menyebutkan, barisan terbaik bagi lakilaki dalam shalat berjamaah adalah yang pertama.
Sedangkan barisan yang terburuk bagi mereka adalah barisan terakhir. Barisan paling baik untuk perempuan adalah yang terakhir dan terburuk adalah barisan pertama. Di samping itu, ijma sahabat me nyingkap bahwa di kalangan mereka tak pernah ada perempuan imam shalat yang di dalamnya ada makmum lakilaki.