REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) meluncurkan buku Konsensus Ulama Fatwa Indonesia di Kantor MUI Pusat, Selasa (23/7/2024). Dalam buku tersebut, salam lintas agama menjadi salah satu pembahasan dalam masalah strategis kebangsaan dengan tema utama fiqih hubungan antarumat beragama.
Mengenai beda pendapat Kementerian Agama (Kemenag) dengan MUI soal salam lintas agama, Kiai Niam mengatakan, harus didudukkan secara proporsional, mungkin bisa jadi respon yang kelihatan berbeda pendapat itu bisa karena beda konteks atau bisa karena salah memahami.
"Kalau kita lihat ulasan dan juga argumennya ini memang kelihatannya salah memahami dalam konteks soal salam lintas agama ini, Nabi tidak pernah menyatakan Om Swastiastu, yang ada mungkin Assalamualaikum untuk publik yang di dalamnya ada Muslim dan non-Muslim dan itu tidak jadi isu," kata Kiai Niam kepada Republika di Kantor MUI Pusat, Selasa (23/7/2024).
Kiai Niam mengatakan, prinsipnya di dalam membangun hubungan antarumat beragama dalam masalah akidah dan ibadah itu saling menghargai serta saling menghormati tanpa harus mencampur adukkan ajaran agama masing-masing.
Muslim melaksanakan sholat, sebagai bentuk penghormatan dan juga toleransi orang non-muslim memberikan ruang kepada Muslim untuk menjalankan kewajibannya sesuai dengan ketentuannya.
Demikian juga sebaliknya, umat kristiani hadir di misa Natal misalnya. Maka sebagai Muslim memberikan ruang agar mereka bisa menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya, tanpa harus mencampur adukkan. Tanpa harus mereka umat Kristiani ikut sholat dengan Muslim, tanpa harus Muslim ikut misa Natal bersama umat Kristiani.
"Sementara dalam hal urusan sosial, urusan muamalah, kita bisa bekerjasama seperti jual beli, itu tidak melihat agama, yang dilihat adalah bagaimana kejujurannya, kemudian bagaimana saling rela antara satu pihak dengan pihak yang lain, kita bekerjasama dalam urusan ilmu pengetahuan, bekerjasama dalam bertetangga dan lain sebagainya tanpa harus ada sekat perbedaan warna kulit, perbedaan agama dan lain sebagainya," jelas Kiai Niam.
Kiai Niam menegaskan, itulah hakikat toleransi dan juga hubungan baik antara umat beragama. Bukan toleransi yang dibenarkan secara syar'i ketika mencampur adukan urusan keagamaan.
Sementara kalau di dalam Islam, salam itu bukan hanya sekedar urusan mu'amalah semata, karena di dalamnya ada doa dan ada ketentuan-ketentuan agama yang diajarkan oleh baginda Rasulullah SAW.
Di dalam salam juga ada hukum, hukum mengucapkan salam adalah sunnah dan menjawab salam adalah wajib. Tata caranya pun sudah ditetapkan oleh agama.
"Itu (salam) masuk kategori doa, doa itu ibadah, karena itu kalau urusan ibadah ya sudah kita masing-masing tanpa harus dimaknai itu sebagai intoleran, itu salah ya memaknai itu sebagai bentuk intoleransi," ujar Kiai Niam.