REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengimbau jamaah haji Indonesia untuk mengetahui adanya skema melintas (murur) dalam penyelenggaraan haji pada 1445 H/2024 M. Diperkirakan, sebanyak 25 persen dari seluruh jamaah haji RI di Arab Saudi pada tahun ini akan mengikuti skema tersebut.
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah telah menerbitkan fatwa terkait murur. Imbauan ini dihasilkan dari sidang yang bertempat di Kantor PP Muhammadiyah, Jalan KH Ahmad Dahlan, Yogyakarta, pada Jumat (7/6/2024). Sidang tersebut dipimpin Ketua Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Ruslan Fariadi.
"Skema (murur) ini dirancang untuk meminimalkan potensi risiko bagi jamaah yang rentan. Setelah wukuf di Arafah, jamaah akan melakukan murur di Muzdalifah dengan cara melintasi lokasi tersebut, tanpa turun dari bus. Kemudian, bus akan membawa mereka langsung ke Mina," demikian dikutip Republika dari laman resmi PP Muhammadiyah, Sabtu (8/6/2024).
Menurut fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, jamaah haji yang melintasi Muzdalifah setelah tengah malam, meskipun hanya sebentar, telah memenuhi kriteria dan syarat mabit. Jadi, mabitnya itu adalah sah dan tidak terkena dam isa’ah.
Pandangan ini berdasarkan pada prinsip kemudahan (taysir). Dalam kaidah hukum Islam ditegaskan, “Jika sesuatu itu dirasakan sulit, maka beralih kepada yang mudah.”
"Jika terjadi uzur syar’i, seperti kemacetan atau kondisi darurat yang menghalangi seseorang untuk melaksanakan mabit, maka murur menjadi rukhshah (keringanan) tanpa membedakan waktu awal atau tengah malam, dan jamaah tidak terkena dam isa’ah," demikian fatwa lembaga tersebut.
Boleh tanazul
Jika murur boleh dilakukan dengan ketentuan di atas, keringanan juga dapat berlaku untuk tanazul di Mina. Setelah melontar Jumrah Aqabah pada 10 Dzulhijjah, jamaah haji bisa meninggalkan tenda dan menuju hotel mereka masing-masing di Makkah.
Bagi jamaah yang memiliki uzur syar’i, semisal mereka yang berisiko kesehatan tinggi, dapat melaksanakan tanazul sesuai skema yang telah ditetapkan. Ini berdasarkan dalil dan kaidah-kaidah tentang kedaruratan serta pertimbangan Maqashid Syari’ah, yakni menjaga nyawa (hifzun nafs). Maka dari itu, jamaah yang demikian tidak terkena dam.
Namun, ada ketentuan khusus yang harus diperhatikan. Jika melempar jumrah digantikan atau di-badal-kan kepada orang lain, maka jamaah yang bersangkutan akan terkena dam.
Ini berarti, pelaksanaan rangkaian ibadah haji harus tetap dilakukan secara penuh kehati-hatian. Tidak serta merta semuanya dibadalkan, tanpa alasan-alasan yang mendesak.