REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pinjam-meminjam telah menjadi bagian keseharian masyarakat, baik yang melibatkan barang, uang, tanah, maupun benda lainnya. Sejak zaman Rasulullah, kegiatan ini telah dipraktikkan dan terus mengalami perkembangan. Kini banyak hadir institusi keuangan yang khusus berkecimpung dalam usaha ini. Misalnya, koperasi simpan-pinjam.
Demikian pula industri perbankan, memiliki divisi perkreditan yang pada dasarnya juga memberikan pinjaman uang bagi nasabahnya. Rasulullah juga telah memberikan petunjuk dan arahan mengenai hal ini. Beberapa kalangan menyamakan aktivitas meminjam dengan berutang.
Maka itu, pada beberapa hal hukum keduanya saling berkait. Praktik ini dalam bahasa Arab adalah qardh, artinya hampir mirip dengan jual beli. Secara harfiah, maknanya yakni pengalihan hak milik harta atas harta. Menurut paham hanafiah, qardh merupakan harta yang memiliki kesepadanan yang diberikan, kemudian ditagih kembali.
Kalangan ulama membolehkan transaksi tersebut. Dasarnya adalah hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. “Bukan seorang Muslim (mereka) yang meminjamkan Muslim (lainnya) dua kali, kecuali yang satunya adalah (senilai) sedekah”. Demikian pernyataan Rasulullah.
Dasar lainya adalah Alquran dalam surah al-Haddid ayat 11. “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya. Dan, dia akan memperoleh pahala yang banyak”. Meminjam sesuatu juga punya landasan secara ijma.
Para ulama memandang, kesepakatan itu tidak lepas dari hakikat manusia yang bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Sesuatu yang tidak dimiliki, padahal sangat dibutuhkan, bisa didapat melalui cara meminjam. Ketentuan mengenai transaksi peminjaman ini mendapat perhatian ulama mazhab.
Mazhab Hanafi memandang beberapa barang bisa dipinjamkan karena mempunyai nilai kesepadanan serta perbedaan nilainya tidak terlampau jauh. Antara lain, barang-barang yang ditimbang, seperti biji-bijian; yang ukurannya serupa, misalnya kelapa dan telur; dan yang diukur, seperti kain dan bahan.
Sementara mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali memperbolehkan melakukan qardh atas semua harta yang dapat diperjualbelikan, semisal perak, emas, binatang, maupun makanan. Adapun menyangkut hak kepemilikan, merujuk pada pendapat Abu Hanifah, maka telah berlaku melalui penyerahan. Seseorang yang meminjam satu mud gandum dan sudah terjadi qabdh (penyerahan), maka berhak menggunakan dan mengembalikan dengan yang semisalnya. Pendapat dari mazhab Maliki menegaskan hak kepemilikan berlangsung lewat transakasi, meski tidak menjadi qabdh atas harta.
Peminjam diperbolehkan mengembalikan harta semisal yang telah dihutang dan boleh juga mengembalikan harta yang dihutang itu sendiri, baik harta itu memiliki kesepadanan maupun tidak, selama tidak mengalami perubahan: bertambah atau berkurang. Apabila berubah, maka harus mengembalikan harta yang semisalnya.
Mazhab Syafi’i dan Hambali mengemukakan, hak milik dalam qardh berlangsung dengan qabdh. Muqtaridh mengembalikan harta yang semisal ketika harta yang dipinjam punya nilai sepadan, karena yang demikian itu lebih dekat dengan kewajibannya.
Imam Hanbali mengharuskan pengembalian harta semisal jika yang diutang adalah harta yang bisa ditakar dan ditimbang, sebagaimana kesepakatan di kalangan para ahli fikih. Bila objek qardh bukan harta yang ditakar dan ditimbang, maka ada dua versi: harus dikembalikan nilainya pada saat terjadi qardh atau harus dikembalikan semisalnya dengan kesamaan sifat yang mungkin.
Keempat mazhab sepakat bahwa dalam transaksi ini tidak diperbolehkan qardh yang bertujuan mendatangkan keuntungan bagi peminjam. Dengan kata lain, praktik riba harus dijauhi dan hukumnya haram. Misalnya, memberi pinjaman seribu dinar dengan syarat rumah orang tersebut dijual kepadanya.
Nabi Muhammad mengatakan, semua utang yang menarik manfaat adalah riba. Dalam kitab Fawaid al-Bunuk Hiya al-Riba al-Haram, Syekh Yusuf Al-Qaradhawi memberi penekanan terhadap pinjaman yang dilakukan kepada bank konvensional. Ia menggarisbawahi, bank konvensional biasanya menerapkan sistem bunga yang diharamkan Islam.
Namun, ia memberi toleransi dengan beberapa catatan. Pertama, tidak ada alternatif lain. Kedua, hanya untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Dan ketiga, dibolehkan sekadarnya hingga kebutuhan terpenuhi. Apabila sudah terpenuhi, meminjam tersebut menjadi haram kembali.