Jumat 21 Oct 2016 16:00 WIB

Etika Istri Bicara dengan Suami

Rep: A Syalaby Ichsan/ Red: Agung Sasongko
Pasangan suami istri/Ilustrasi
Foto: pixabay
Pasangan suami istri/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasang surut hubungan suami istri dalam membina hubungan rumah tangga merupakan sesuatu yang wajar. Pertengkaran antara dua pasangan menjadi bumbu penyedap rumah tangga.

Hanya, ada kalanya kaum ibu yang sudah lelah dengan pekerjaan rumah tangga melampiaskan kekesalan kepada suaminya. Tanpa sadar, sang istri pun membentak suami dengan suara yang tinggi. Bagaimana sebenarnya etika istri untuk berbicara kepada suaminya?

Mengumpat suami atau sebaliknya merupakan perbuatan yang tercela. Menurut hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud, berkata kasar dan jelek kepada suami adalah bentuk kefasikan. Tindakan itu semestinya dihindari oleh siapa pun, tak terkecuali istri kepada suami. Mencela atau memaki, sebagaimana ditegaskan hadis dari Abdullah bin Mas'ud di riwayat yang lain, tidak termasuk karakter seorang mukmin.

Suami yang sudah lelah mencari nafkah sudah selayaknya mendapat perlakuan yang baik dari istri. Sikap lembut istri akan membuat keringat suami setelah bekerja kering seketika. Kelembutan istri pun menjadi perlambang rasa syukur terhadap nafkah yang didapat suami seberapa pun kecilnya.

Rasulullah SAW pernah bersabda tentang neraka yang kebanyakan dipenuhi para perempuan. Dalam hadis riwayat Bukhari Muslim tersebut, Rasulullah SAW menjelaskan penyebab populasi perempuan yang banyak di neraka. "Karena mereka tidak mau mengakui kebaikan suaminya dan tidak bersyukur kepada suaminya, tidak berterima kasih dengan apa yang telah suami berikan, dan karena kesalahan sepele suami lalu istri berkata, 'Tidak pernah aku dapat kebaikan apa pun darimu'."

Dalam istilah fikih, pembangkangan seorang istri terhadap suami disebut dengan nusyuz. Bahtul Masail Nahdlatul Ulama menjelaskan, "pembangkangan" merujuk pada ketidaksediaan istri untuk berhubungan suami-istri dan tindakan perlawanan istri terhadap suami.

Bila tampak tanda-tanda pembangkangan dari seorang istri, seperti berakhlak buruk dan merasa lebih tinggi dari suami, suami harus menasihatinya dan mengingatkannya akan sanksi yang Allah siapkan di akhirat. Tak hanya itu, suami pun berkewajiban mengingatkan tentang mudharat di dunia sesuai dalam syariat yang akan menderanya, seperti gugur kewajiban nafkah dari suami. Bila istri masih saja membangkang, suami boleh memilih pisah ranjang.

Meski demikian, suami tidak boleh mendiamkan istrinya. Ingatlah sabda Rasulullah SAW yang berbunyi, "Seorang Muslim tidak halal mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari." Hanya, bila istri terus pada pembangkangannya, suami boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan dan melukai. Kalau terpaksa juga memukul, ia tidak boleh memukul wajah karena larangan Rasulullah SAW terhadap pemukulan anggota tubuh yang vital sehingga berdampak bahaya yang luar biasa.

Karena itu, istri harus menghormati posisi suami dalam hidup berumah tangga. Sejumlah keutamaan yang dimiliki suami dan istri mestinya menuntun bahtera rumah tangga ke arah ridha Allah SWT. Ketaatan istri kepada suami menjadi sebuah keutamaan yang disabdakan Rasulullah SAW. Seandainya, kata Rasulullah SAW di sabdanya yang dinukilkan oleh Imam at-Tirmidzi, ada sosok yang lebih pantas untuk bersujud di hadapannya, maka niscaya kepada suamilah seorang istri itu dituntut bersimpuh.

Tiap masalah yang terjadi dan berdampak pada gesekan antarkeduanya harus diselesaikan dengan bijak, bukan dengan umpatan dan kata kasar. Meski demikian, menurut Syekh Shalih Ibn al-Utsaimin, jika suami berlaku kasar dan cenderung jauh dari ketakwaan, istri berhak untuk tidak memenuhi sejumlah kewajibannya sebagai pendamping. Misal, bila suami suka bermaksiat misalnya. "Barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu." (QS al-Baqarah [2]: 194). Tetapi, tetap dalam koridor yang diperbolehkan.

Kekerasan fisik ataupun nonfisik berupa ucapan-ucapan tak sedap di telinga atau perasaan bukan cara yang tepat dalam mengurai masalah rumah tangga. Sikap saling terbuka, hormat-menghormati, dan tetap menjaga etika dibutuhkan kala menghadapi persoalan. Membalas keburukan dengan kebaikan adalah keutamaan yang tak ternilai harganya, sekalipun memang sulit dilakukan.

Maka, sudah selayaknya seorang istri mengingat kembali sebuah hadis Rasulullah SAW tentang kriteria perempuan salehah. "Ingatlah, bagaimana jika kuberitahukan kepadamu simpanan yang paling baik bagi seseorang? Yaitu wanita salehah. Jika suami memandangnya, maka dia membuatnya senang, jika suami menyuruhnya maka dia menaatinya, dan jika suami tidak ada di sisinya maka dia menjaganya "(HR Abu Dawud).

Sebaliknya, suami pun berkewajiban bersabar saat menjalin hubungan dalam rumah tangga. Allah SWT berpesan kepada para suami lewat surah an-Nisaa' ayat 19, "Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak."  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement