REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fatwa ini dikritisi Dr Husain Syahrani. Dalam disertasinya, ia mengatakan, fatwa ini tidak bisa dijadikan acuan untuk membolehkan MLM secara mutlak. Ada beberapa sistem yang diterapkan MLM yang memang tidak sesuai dengan unsur syariah.
Misalkan, beberapa perusahaan MLM mengharuskan membeli suatu produk sebagai syarat keanggotaan dan bisa mendapatkan bonus dari pemasaran barang. Demikian juga bonus yang dijanjikan dengan harga produk dan jerih payahnya memasarkan barang tidaklah sebanding dengan bonus yang diterima.
Misalkan, suatu perusahaan MLM menjanjikan bonus 50 ribu dolar AS pada akhir tahun. Padahal, harga produk tidak lebih dari 99 dolar AS. Dengan perbandingan 0,3 persen dari harga produk dan bonus 99,7 persen ini, pasti membuat setiap orang yang membeli produk serta ikut jaringan bertujuan mendapatkan bonus. Tujuan anggota MLM ini bukan untuk mendapatkan produk, melainkan ingin bonus saja.
Inilah yang disorot Dr Husain Syahrani, yang mana anggota MLM hanya fokus mencari downline baru, bukan untuk membeli produk sebagai kebutuhannya. Di samping itu, perusahaan MLM bisa masuk pada kategori maisir (judi). Misalnya, anggota MLM (upline) menjanjikan bonus yang sangat besar kepada calon pembeli.
Pada kenyataannya mereka hanya mendapatkan bonus enam persen dari seluruh anggota. Ini masuk dalam kategori spekulasi tingkat tinggi (judi). Dengan janji tersebut, pembeli bersedia membeli produk yang harganya jauh lebih mahal dibandingkan harga sebenarnya.
Pendapat yang lebih masyhur dan terkenal adalah pendapat mayoritas ula ma kontemporer. Mereka tidak membolehkan praktik MLM. Pendapat ini dikeluarkan Lajnah Fatwa Arab Saudi, Lajnah Fikih Islam Sudan, dan Lajnah Pusat Kajian serta Penelitian al-Imam al-Albani Yordania.
Direktur Pengembangan Keuangan Islam di Islamic Development Bank Jed dah, Dr Sami al-Suwailim, mengatakan, sebenarnya sistem yang dipakai MLM berasal dari letter chain (pengiriman uang secara berantai) yang berasal dari Amerika.
Mantan anggota Dewan Syariah Bank Al-Rajhi Riyadh ini mengatakan, sistem ini pernah dilarang karena mengandung unsur penipuan. Namun, pintarnya, penggagas sistem ini mengembangkannya dalam bentuk barang agar mendapat legalitas dari Pemerintah Amerika. Ironis memang, negara yang menganut sistem liberal ternyata melarang praktek ini.
Model dasar sistem kerja MLM bisa dianalogikan sebagai berikut. Si A menyerahkan uang sebanyak 100 dolar AS kepada sebuah perusahaan dengan harapan mendapatkan bonus yang jauh lebih besar dari nominal uang yang dibayar ke perusahaan tersebut.
Agar si A mendapat bonus, dia harus mencari dua orang si B dan si C yang mau menyerahkan uang 100 dolar AS kepada perusahaan itu. Tujuannya untuk menutupi uang si A 100 dolar AS dan dapat bonus serta sisanya merupakan laba bagi perusahaan pengelola.
Kemudian si B dan si C yang membayar masing-masing 100 dolar AS ke perusahaan melalui perantara si A. Agar uang mereka kembali dan mendapat bonus, masing-masing si B dan si C harus mencari dua orang lagi yang mau menyerahkan uang 100 dolar AS ke perusahaan MLM. Begitulah seterusnya hingga skema piramida ini terus membesar ke bawah.
Tentu saja, semakin lama sistem ini berjalan, semakin susah untuk merekrut orang baru yang mau menyerahkan uangnya kepada perusahaan pengelola. Pada suatu saat sampai pada kondisi stagnan, tidak bergerak. Maka, dapat dipastikan orang-orang yang berada pada tingkat akhir mengalami kerugian dan jumlah anggota pada tingkat ini adalah peserta terbanyak.
Menurut Dr Husain Syahrani, ini adalah bentuk penipuan. Alasannya, memberikan keuntungan untuk se- dikit orang dan merugikan orang ba- nyak. Dalam hitungan matematika, per sentase anggota yang mengalami kerugian mencapai 94 persen, se dang- kan anggota level atas yang meraih keuntungan hanyalah enam persen.