REPUBLIKA.CO.ID,GAZA -- Di pintu gerbang Universitas Al-Azhar Gaza, Mohammed Hassan berdiri terpaku. Di tangannya, peralatan kedokteran gigi terbungkus kantong plastik kecil. Sederhana, namun bagi dirinya itu adalah simbol harapan.
Di depannya, kampus tempat ia dulu berlari sambil bercanda dengan teman-temannya kini berubah menjadi lanskap retak. Bangunannya hancur, jendela pecah, laboratorium berselimut debu.
“Saat melangkah masuk, saya merasakan sesuatu antara duka dan kemenangan,” ujar mahasiswa kedokteran itu dilansir The New Arab, Senin (8/12/2025).
"Selama ini saya belajar di tenda dan tempat penampungan. Berdiri di sini lagi saja membuat saya merasa bahwa sebagian kecil hidup saya masih hidup," ucapnya.
Kembali ke kampus bukan sekadar rutinitas akademik. Bagi Hassan dan ribuan mahasiswa Palestina lainnya, itu adalah tanda kebangkitan—sebuah penegasan bahwa identitas, intelektualitas, dan masa depan mereka tidak berhasil dipadamkan oleh dua tahun perang dan genosida Israel.
Selama dua tahun agresi Israel, pendidikan tinggi di Gaza mengalami kelumpuhan terparah sejak berdirinya institusi modern di wilayah itu. Ruang kuliah rata dengan tanah, perpustakaan musnah, laboratorium lenyap, dan jaringan listrik hancur.
Ribuan siswa terpaksa berpindah ke tenda, pengungsian, atau rumah yang penuh sesak. Mereka belajar daring dengan jaringan yang nyaris tak dapat diandalkan—itu pun kalau masih memiliki gawai.
Fakultas dan dosen tercerai-berai. Sebagian gugur, sebagian mengungsi, sebagian hilang kontak. Rantai akademik Gaza nyaris terputus.
Namun, di tengah situasi itu, dua universitas terbesar, yakni Universitas Al-Azhar dan Universitas Islam berani mengambil langkah berbeda. Mereka membuka kembali pembelajaran tatap muka, meski sebagian besar bangunan sudah tak lagi layak disebut kampus.
Di laboratorium kedokteran gigi Al-Azhar, yang kini tinggal separuh peralatan, Hassan merasakan kembali getaran mimpinya.
"Kesempatannya terbatas, tetapi menyerah akan jauh lebih buruk," kata Hassan.
Mahasiswa kedokteran lain, Nour al-Hatu, bahkan mengaku tak pernah membayangkan bisa kembali ke ruang kelasnya. “Hanya dengan mengenakan stetoskop di dalam universitas membuat saya merasa seperti hidup kembali,” ujarnya.
Universitas Al-Azhar kini mengizinkan sekitar 1.000 mahasiswa mengikuti kuliah tatap muka. Sementara itu, 12 ribu mahasiswa lainnya masih bergantung pada platform "Moodle" dengan internet yang sering padam. Tenaga pengajar pun menyusut drastis, dari 300 staf akademik menjadi hanya belasan pada fakultas praktik.
“Kami memulai dengan visi politik dan nasional,” kata Wakil Presiden Al-Azhar, Mohamed Shubair.
“Tujuan kami adalah menghidupkan kembali impian mahasiswa, meskipun sumber daya sangat terbatas," jelasnya.
Yang mengejutkan, pendaftaran mahasiswa justru meningkat. Lebih banyak yang mendaftar daripada sebelum perang.
“Ini bukti bahwa anak muda di Gaza tidak pernah menyerah. Pendidikan adalah bagian dari kebangkitan kami," ungkap Shubair.
Kelas dalam Reruntuhan
Di salah satu gedung yang baru direnovasi, mahasiswa duduk berdesakan. Dinding penuh bekas pecahan peluru, generator kecil memberi cahaya temaram, dan meja atau papan tulis hampir tak ada.
Namun, semangat mereka tidak padam..“Pendidikan bukan kemewahan bagi kami, ini jalan hidup,” ujar mahasiswa kedokteran, Salma Mohammed.
"Bisa kembali ke kampus, meski begini, artinya universitas hidup lagi.”
Di tengah kehancuran, sekitar 4.000 mahasiswa telah berhasil lulus melalui pembelajaran daring sepanjang perang. Ribuan lainnya menunggu giliran menyelesaikan gelar secara tatap muka.
Namun, tidak semua kampus memiliki nasib serupa. Universitas Al-Aqsa, Fakultas Ilmu Terapan, dan beberapa kampus di Gaza selatan masih sepenuhnya bergantung pada kuliah daring. Bangunan runtuh, jalan-jalan tak aman, staf akademik hilang, dan listrik tak menentu membuat pembukaan kampus mustahil.
Beberapa mahasiswa belajar dari tenda, berbagi satu gawai untuk tiga hingga empat anggota keluarga. Ketika listrik padam, mereka merekam materi untuk didengarkan nanti saat mesin generator pengungsian menyala sebentar.
“Gedungnya hilang,” kata seorang dosen, “tapi semangat kembali mengajar tidak hilang.”
Shireen al-Dhani dari Fakultas Humaniora Al-Azhar menyebut kampus kini memikul peran sosial yang jauh lebih besar, yakni mendampingi mahasiswa, memberi bimbingan psikologis, hingga membantu keluarga staf yang gugur.
“Kami tahu kondisi keuangan masyarakat sangat berat, jadi biaya kuliah dibuat proporsional. Yang penting kesinambungan pendidikan tidak terputus,” jelasnya.
Kantor Media Pemerintah di Gaza memperkirakan 165 lembaga pendidikan hancur total dan 392 rusak sebagian. Hampir 300 ribu orang masih membutuhkan tempat tinggal sementara, mengubah lingkungan kampus menjadi tempat penampungan yang padat.
Para ahli berpendapat bahwa pembukaan kembali universitas, meskipun sebagian, sangat penting untuk mencegah runtuhnya kehidupan intelektual dan budaya Gaza.
Seperti yang dikatakan Shubair, "Pendidikan adalah satu-satunya pertempuran yang harus dimenangkan Gaza setelah semua kehancuran ini."
Namun, ia mengakui bahwa kelangsungan hidup bergantung pada dukungan Arab dan internasional. Dengan sumber daya yang hampir habis, bahkan Al-Azhar dan Universitas Islam menghadapi ketidakpastian.




