REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abu Bakar ash-Shiddiq memerintah selama dua tahun, yakni 632-634 Masehi atau 11-13 Hijriah. Sebelum berpulang ke rahmatullah, pemimpin pertama di jajaran Khulafaur Rasyidin itu sempat menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Penunjukan itu dilakukannya usai berdiskusi dengan sejumlah sahabat Nabi Muhammad SAW, semisal Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Sehari setelah pemakaman Abu Bakar, Umar menemui kaum Muslimin di Masjid Nabawi, Madinah al-Munawwarah. Mereka menyambutnya dengan baik dan membaiatnya. Usai itu, sahabat yang bergelar al-Faruq tersebut berdiri di atas mimbar dan hendak menyampaikan pidato.
Isi pesannya tidak jauh berbeda daripada pidato pertama Abu Bakar setelah dilantik menjadi pemimpin. Masing-masing sahabat Rasulullah SAW itu memang memiliki karakteristik yang cenderung berlainan. Yang satu masyhur akan sifatnya yang tenang dan menyukai cara-cara persuasif, sedangkan yang lain condong tegas dan bahkan keras penuh disiplin.
Bagaimanapun, keduanya adalah sama-sama sahabat utama Nabi SAW. Baik Abu Bakar maupun Umar sama-sama termasuk yang dijamin masuk surga oleh Rasul SAW. Mereka bertujuan sama, yakni menjaga akidah, meneruskan dakwah Islam, serta selalu mengutamakan kepentingan umat di atas diri pribadi.
Seperti dinukil dari buku biografi Umar bin Khattab karya Muhammad Husain Haekal (2013), berikut ini petikan pidato sang amirul mukminin.
“Saudara-saudara! Saya hanya salah seorang dari kalian. Kalau tidak karena segan menolak tawaran Khalifah (sosok pengganti kepemimpinan) Rasulullah (Abu Bakar) saya pun akan enggan memikul tanggung jawab ini. Allahumma ya Allah, saya ini sungguh keras, kasar, maka lunakkanlah hatiku.
Allahumma ya Allah saya sangat lemah, maka berikanlah kekuatan. Allahumma ya Allah saya ini kikir, jadikanlah saya orang dermawan bermurah hati.”
Sampai di sini, Umar berhenti sejenak. Saat hadirin lebih tenang, dia melanjutkan pidatonya.
View this post on Instagram




