REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Agama (Kemenag) menyoroti maraknya promosi jasa nikah siri yang beredar di berbagai platform media sosial sejak November lalu. Fenomena ini dinilai berpotensi menimbulkan persoalan keagamaan, sosial, dan hukum yang dapat merugikan masyarakat, terutama perempuan dan anak.
Direktur Bina Kantor Urusan Agama (KUA) dan Keluarga Sakinah Kemenag, Ahmad Zayadi, menegaskan bahwa praktik nikah siri berbayar yang dipasarkan secara digital membutuhkan perhatian serius.
"Pemerintah memandang bahwa praktik tersebut perlu mendapat perhatian serius karena berpotensi menimbulkan persoalan keagamaan, sosial, dan hukum yang merugikan masyarakat, terutama perempuan dan anak," ujar Zayadi dalam keterangannya kepada Republika, Kamis (4/12/2025).
Ia menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, dijelaskan setiap perkawinan dianggap sah apabila memenuhi dua aspek utama yaitu sah menurut hukum agama, dan dicatatkan oleh negara melalui mekanisme pencatatan perkawinan.
"Ketentuan pencatatan ini bukan bersifat administratif semata, tetapi merupakan instrumen perlindungan hukum untuk memastikan terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam perkawinan,"kata dia.
Dalam peraturan pelaksanaan melalui PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan mengatur bahwa setiap akad nikah harus dilaksanakan di bawah pengawasan dan pencatatan Pegawai Pencatat Nikah (PPN)/Penghulu.




