REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Katib PBNU Ahmad Tajul Mafakhir mengatakan, Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya bisa mengajukan keberatan atas keputusan dicopot dari ketua umum PBNU ke Majelis Tahkim PBNU. Hal itu sebagaimana keterangan Surat Edaran PBNU Nomor 4785/PB.02/A.II.10.01/99/11/2025.
"Ada Majelis Tahkim sekarang itu. Kalau misalkan ada dispute (sengketa) dalam hal pengambilan keputusan, itu bisa diajukan ke Majelis Tahkim," ujar Tajul Mafakhir saat dikonfirmasi dari Jakarta, Rabu (26/11/2025).
Sebelumnya, terbit Surat Edaran yang diteken Wakil Rais Aam PBNU Afifuddin Muhajir dan Khatib PBNU Ahmad Tajul Mafakir, menindaklanjuti hasil Risalah Rapat Harian Syuriyah PBNU. Dalam surat edaran tersebut disebutkan Gus Yahya sudah tidak lagi berstatus Ketua Umum terhitung mulai tanggal 26 November 2025.
Atas dasar keputusan tersebut, Gus Yahya tidak lagi memiliki wewenang dan hak untuk menggunakan atribut, fasilitas dan/atau hal-hal yang melekat kepada jabatan Ketua Umum PBNU. Menurut Tajul, apabila Gus Yahya tetap pada pendiriannya bahwa dirinya tidak salah maka bisa menyelesaikan sengketa lewat Majelis Tahkim.
"Justru kalau sekarang ini malah ngapain gitu, loh. Jadi sekarang ini mending, ‘Oh saya enggak salah kok’. Ya diam saja. Kalau memang kami Syuriyah yang salah, tuntut kami di Majelis Tahkim nanti," ucap Tajul.
Selama kekosongan jabatan ketua umum, sambung dia, kepemimpinan PBNU sepenuhnya berada di tangan Rais Aam selaku pimpinan tertinggi Nahdlatul Ulama.
Sementara itu, Katib Syuriah PBNU Nurul Yakin Ishaq menilai, ultimatum yang dilayangkan Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar berdasarkan rapat harian Syuriyah soal permintaan agar Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf mundur tidak memiliki dasar organisatoris maupun syar’i. Dia pun menganggap, Gus Yahya tetap ketum PBNU.
"Rapat Harian Syuriyah tidak memiliki kewenangan memberhentikan Ketua Umum PBNU, bahkan untuk pemberhentian pengurus lembaga sekalipun rapat tersebut tidak berwenang," ujarnya.
Kiai Nurul mengatakan, ultimatum tersebut cacat prosedural, sehingga tidak dapat dijadikan legitimasi untuk memberhentikan Ketua Umum PBNU. Menurut dia, AD/ART NU menetapkan Ketua Umum sebagai mandataris Muktamar. Karena itu, pemberhentian hanya dapat dilakukan melalui Muktamar dan bukan melalui mekanisme lainnya.




