REPUBLIKA.CO.ID,BANJARMASIN -- Penguatan mutu pesantren memasuki fase krusial seiring rencana pemerintah membentuk Direktorat Jenderal (Dirjen) Pesantren di Kementerian Agama. Isu ini mengemuka dalam "Halaqah Pesantren Penguatan Kelembagaan Pendirian Dirjen Pesantren" yang digelar di UIN Antasari Banjarmasin, Jumat (14/11/2025).
Dua narasumber, KH Wildan Salman dan Prof Mujiburrahman menegaskan perlunya standardisasi keilmuan tanpa mengikis kemandirian pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia.
Halaqah ini dihadiri para ulama, pimpinan pesantren, pengajar, serta perwakilan Kementerian Agama. Para narasumber sepakat bahwa tantangan pesantren kini tidak lagi sebatas sarana, tetapi juga menyangkut otoritas ilmu dan tata kelola kelembagaan.
Pimpinan Madrasah Darussalam Tahfidz dan Ilmu Al-Qur’an Martapura, KH Wildan Salman, menegaskan bahwa pesantren tidak dapat dipisahkan dari tradisi kitab kuning. Tradisi ini, ujarnya, adalah dasar kesinambungan ilmu Islam yang diwariskan dari generasi ke generasi.
“Tanpa kitab kuning, pesantren kehilangan identitas dan sumber legitimasi keilmuannya. Seluruh pemahaman fiqih, ibadah, dan hukum Islam bertumpu pada kitab-kitab tersebut,” ujarnya dalam keterangan pers yang diterima, Sabtu (15/11/2025).
Menurut Kiai Wildan, keberlangsungan empat mazhab besar—Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali—tidak hanya ditopang oleh pemikirannya, tetapi juga oleh dokumentasi karya ulama secara lengkap. Ia juga menekankan pentingnya ijazah sanad sebagai legitimasi guru kepada murid untuk meriwayatkan atau mengajarkan kitab tertentu.
“Ulama sejak dulu memberi sertifikasi melalui ijazah. Jika standar disusun pesantren sendiri, sertifikasi justru akan menjaga kualitas, bukan menyingkirkan guru-guru pesantren,” ucapnya menegaskan.
“Standar kurikulum harus jelas, agar pesantren tidak kehilangan arah,” katanya.
Ia menilai kehadiran Dirjen Pesantren penting untuk menata wilayah tersebut, namun tetap menempatkan pesantren sebagai aktor utama penyusun standar.
Berbeda dari Kiai Wildan, Prof Mujiburrahman menekankan pentingnya penguatan akhlak sebagai modal terbesar pesantren dalam menjawab krisis moral bangsa.
“Krisis bangsa kita adalah krisis akhlak. Pesantren, dengan tradisi hidup sederhana dan hubungan guru–santri yang dekat, memiliki modal besar untuk memperbaikinya,” jelasnya.
Alumnus Pesantren Al-Falah yang menempuh studi di Kanada dan Belanda ini menilai bahwa meski disiplin akademik Barat sangat ketat, pesantren tetap unggul dalam kedalaman tradisi, terutama melalui sanad dan akhlak berguru.
Ia juga menekankan pentingnya sinergi antara pesantren dan perguruan tinggi: kampus memperkuat riset dan metodologi, sementara pesantren menjaga otoritas tradisi keilmuan.
“Pesantren telah mandiri jauh sebelum negara berdiri. Penguatan kelembagaan tidak boleh menggerus tradisi itu,” katanya.
Forum halaqah ini merumuskan tiga pilar utama penguatan pesantren. Pertama, peneguhan otoritas ilmu melalui standarisasi kitab kuning dan sanad.
Kedua, peningkatan mutu SDM melalui sertifikasi berbasis tradisi pesantren. Ketiga, kebijakan negara yang bersifat memfasilitasi, bukan mendikte.
Selain penguatan kelembagaan, para narasumber juga menyoroti pentingnya pemberdayaan ekonomi pesantren melalui wakaf produktif agar tidak bergantung sepenuhnya pada iuran santri.
Pembentukan Dirjen Pesantren dipandang sebagai peluang besar untuk mendorong transformasi dunia pesantren. Namun, penguatan itu harus dilakukan tanpa menghilangkan karakter khasnya sebagai pusat keilmuan Islam yang tumbuh dari tradisi Nusantara.




