REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM- Para penyintas yang melarikan diri dari kota El Fasher di Sudan yang dikepung telah menggambarkan pemandangan mengerikan dan kehancuran setelah Pasukan Dukungan Cepat (RSF) mengambil alih kendali kota pada Minggu, setelah lebih dari setahun dikepung.
Warga yang berhasil melarikan diri menceritakan tentang mayat-mayat yang berserakan di jalanan, termasuk anak-anak yang dibunuh di depan mata keluarga mereka.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
“Mayat-mayat ada di mana-mana, tidak ada yang mengubur mereka,” kata seorang korban selamat setelah tiba di Tawila, sekitar 70 kilometer dari El Fasher, dikutip Midleeastmonitor, Jumat (31/10/2025).
Dewan Keamanan PBB pada Kamis mengecam serangan RSF, memperingatkan dampak menghancurkan bagi penduduk sipil.
Menurut perkiraan PBB, lebih dari 36 ribu warga sipil melarikan diri dari El Fasher pada Minggu saja, setelah RSF merebut benteng terakhir militer di wilayah Darfur.
Lembaga kemanusiaan sejak itu memperingatkan risiko pembunuhan massal dan pembersihan etnis.
Tawila, kota tempat banyak orang mencari perlindungan, saat ini menampung lebih dari 650 ribu pengungsi, yang membuat pasokan makanan dan obat-obatan yang sudah langka semakin menipis hingga batasnya.
Tiga penyintas yang berhasil mencapai Tawila menceritakan kekacauan saat mereka melarikan diri, menggambarkan bagaimana RSF memotong akses ke makanan, obat-obatan, dan air selama pengepungan selama 18 bulan.
Kesaksian mereka mencerminkan kejahatan perang dalam konflik Darfur pada awal 2000-an, ketika milisi Janjaweed—sekarang menjadi inti RSF—dituduh melakukan genosida, membunuh sekitar 300 ribu orang dan mengungsi lebih dari 2,7 juta orang.
Imtithal Mahmoud, seorang penyintas genosida Darfur yang kini tinggal di Amerika Serikat, mengatakan dia mengenali jenazah kerabatnya dalam video yang beredar di akun-akun yang terkait dengan RSF.
Nama lengkap para penyintas lain yang diwawancarai telah dirahasiakan demi keamanan mereka.
 
 
                     
                    




 
      
      