REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di antara sekian ragam ajaran Islam, yang terpenting adalah bagaimana mencintai Allah. Mencintai Allah tidak cukup dilakukan hanya dengan menjalankan syariat Islam (fikih). Lebih daripada itu, harus pula disertai dengan menyucikan hati.
Fikih memusatkan perhatian pada sah tidaknya suatu amal perbuatan serta pahala atau hukuman yang ditimbulkan. Adapun tasawuf memusatkan pada gerak-gerik hati dan kedekatan hubungan dengan Allah.
Berbeda dengan fikih, menjalankan tasawuf biasanya lebih diliputi dengan berbagai macam ujian, dari yang paling ringan sampai yang terberat. Yang ringan, misalnya, kesediaan untuk menolong binatang yang kehausan dengan memberikan air minum. Yang terberat, misalnya, kerelaan untuk mengorbankan jiwa dan segala milik kita.
Ujian tersebut berfungsi untuk menempa atau mengukuhkan keimanan, dan selanjutnya menentukan peringkat derajat (maqom) sang sufi itu. Allah berfirman:
اَحَسِبَ النَّاسُ اَنۡ يُّتۡرَكُوۡۤا اَنۡ يَّقُوۡلُوۡۤا اٰمَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَـنُوۡنَ
"Apakah mereka mengira bahwa mereka akan dibiarkan saja mengatakan 'kami telah beriman' sedang mereka tak diuji?" (QS al-Ankabut: 2).
Mencintai Allah bukan sesuatu yang 'eksklusif', yang hanya bisa dilakukan oleh alim ulama.
Jika ada kemauan, siapa pun bisa mencintai Allah. Mengapa kita enggan mencintai Allah sedangkan Allah saja mencintai kita?
View this post on Instagram




