REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kematian adalah nasihat sangat berharga. Dengan menunjukkan adanya peristiwa keberakhiran kehidupan, Allah SWT mengingatkan hamba-Nya tentang sebuah kepastian. Bahwa jatah tinggal di dunia nan fana ini ada batasnya.
Karena itu, seorang Mukmin hendaknya mawas diri dan banyak-banyak bermuhasabah. Sebelum ajal menjemput, hendaknya tiap Muslim mempersiapkan bekal dengan sebaik-baiknya. Dan, bekal terbaik adalah ketakwaan kepada Allah di sepanjang hayat.
وَتَزَوَّدُوۡا فَاِنَّ خَيۡرَ الزَّادِ التَّقۡوٰى
"Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa" (QS al-Baqarah: 197).
Islam mengajarkan, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Justru, ajal adalah gerbang dari kehidupan yang lain dan lebih hakiki, yakni akhirat. Pada fase ini, sungguh tidak berfaedah lagi segala yang dahulu kerap dibangga-banggakan: harta, jabatan, kesehatan, anak keturunan, dan lain-lain sebagainya. Terkecuali, bahwa semua itu telah digunakan dengan sebaik-baiknya untuk beribadah dan meraih ridha Allah Ta'ala.
Semua orang tentu menginginkan akhir hidup yang baik. Tidak ada Muslimin yang menghendaki su'ul khatimah, yakni kematian yang buruk.
Syekh Mahmud al-Mishri dalam karyanya, Al-Khauf min Su’il Khatimah, menjelaskan beberapa tanda su’ul khatimah. Hal itu dengan harapan, bahwa gejala-gejala itu--yang mungkin pernah kita saksikan terjadi pada orang lain--hendaknya menjadi pelajaran yang amat berharga.
Menurut Syekh Mahmud al-Mishri, tanda pertama dari su'ul khatimah yang terjadi sebagian orang yang mengalaminya adalah, bahwa mereka berkata-kata kotor saat sedang sakratulmaut.
Selain itu, dari lisannya juga keluar ucapan yang mendatangkan kemurkaan Allah. Misalnya, perkataan yang menentang takdir-Nya atau penolakan terhadap kalimat tauhid.
Ibnu Rajab menukil sebuah kisah tentang seorang ulama yang membimbing seseorang yang sedang menjelang ajal. Beberapa kali dibisikkan kepadanya bacaan tahlil, tetapi yang keluar dari mulutnya justru ucapan kekafiran.
Maka sang ulama bertanya kepada beberapa orang yang mengenal latar belakang si mendiang. Ternyata, lelaki yang sudah meninggal itu adalah seorang pecandu minuman keras.
Tanda su’ul khatimah, lanjut al-Mushri, juga dapat dijumpai ketika memandikan mayat. Syekh al-Qahthani pernah menuturkan, “beberapa orang yang telah meninggal mengalami perubahan warna kulit menjadi hitam ketika aku melayat jenazahnya.”
Ada pula jenazah yang sesaat sesudah dimandikan berubah warna kulitnya menjadi gelap, padahal si mendiang semasa hidupnya berkulit terang.
Al-Qahthani bertanya mengenai keadaan si mayit. Ayah almarhum menyatakan bahwa putranya semasa hidup tidak pernah shalat. Sementara itu, jenazah lain yang pernah dimakamkannya menyeruakkan bau gosong dari beberapa bagian tubuh, semisal kemaluan.
Isyarat su’ul khatimah dapat pula ditampakkan Allah SWT ketika mayat hendak dimakamkan. Masih dalam kisah al-Qahthani, pernah ada jenazah yang sangat sulit untuk dikebumikan. Kepalanya tidak hanya sukar dihadapkan ke arah kiblat. Malahan, dari lubang hidungnya keluar darah. Kelopak matanya juga susah ditutup agar terpejam.
Manusia yang dalam dadanya masih ada rasa takut kepada Allah tentu berharap kejadian mengenaskan itu tidak akan menimpa dirinya. Al-Mishri menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan su’ul khatimah.
Pertama, seseorang semasa hidupnya menyimpang dari akidah yang benar. Lebih buruk lagi apabila ia mengajarkan kepada orang-orang kesesatan yang diyakininya.
Kedua, pengalam su’ul khatimah gemar menunda-nunda tobat saat hayat masih dikandung badan. Orang itu senantiasa tenggelam dalam memuja hawa nafsu.
Karena itu, al-Mishri menasihati, segeralah menghadap kepada Allah. Jangan berputus asa dari rahmat-Nya. Sebab, kasih sayang Allah meliputi segala sesuatu. Menunda tobat hanya akan mendatangkan penyesalan. Ketika waktunya tiba, sesal itu sungguh tidak bermanfaat apa-apa.




