REPUBLIKA.CO.ID, DOHA— Ketika Israel melanjutkan perang pemusnahannya di Jalur Gaza dan jumlah martir meningkat menjadi sekitar 65 ribu orang, belum lagi ribuan orang yang hilang, terluka, diamputasi, dan ratusan ribu orang yang mengungsi, pertempuran lain berkecamuk di belakang layar: Siapa yang akan memerintah Jalur Gaza setelah perang berakhir?
Majalah Inggrris The Economist melaporkan bahwa beberapa pemerintah dan sejumlah lembaga think thank mengajukan rencana untuk "hari depan" di Gaza.
Mulai dari inisiatif Eropa dan Arab hingga rancangan oleh Hamas sendiri. Namun rencana yang paling kontroversial adalah rencana yang dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair.
Blair, yang telah mengintensifkan kunjungannya ke Yerusalem sejak pekan-pekan pertama perang, mendorong organisasinya yang berbasis di London untuk mempersiapkan proposal pembentukan Otoritas Transisi Internasional Gaza (GITA).
Rincian
The Economist mengutip sumber-sumber informasi yang mengatakan bahwa badan ini akan beroperasi di bawah mandat PBB sebagai "otoritas politik dan hukum tertinggi" selama lima tahun.
Operasionalnya dijalankan oleh sebuah dewan beranggotakan tujuh orang dan sebuah sekretariat eksekutif kecil. Sedangkan negara-negara Teluk menanggung biayanya.
Lihat postingan ini di Instagram