REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kami tidak memiliki cara untuk mengetahui arah dan tren opini publik Palestina selain melalui survei opini publik yang dilakukan lembaga survei yang terus-menerus menyelidiki opini publik Palestina dan secara objektif memberikan gambaran menyeluruh tentang apa yang ada dalam pikiran mereka.
Terutama karena pemilihan umum terakhir di Palestina dilakukan dua dekade lalu, dan referendum bukanlah alat yang diakui di sebagian besar—jika tidak semua— negara-negara Arab.
Keterikatan kita pada jajak pendapat dan harapan baru terhadapnya semakin meningkat, di tengah layar yang dipenuhi dengan klaim-klaim dari para politisi dan komentator, yang mengklaim bahwa pandangan mereka mewakili pendapat mayoritas rakyat Palestina.
Mereka ingin kita mempercayai klaim-klaim tersebut, sambil mengejek dan meragukan survei dan pihak yang melakukannya, terutama ketika angka dan persentase survei bertentangan dengan kepentingan dan interpretasi mereka sendiri.
Dalam survei terbaru Dr Khalil Shqaqi, yang dilakukan di Gaza dan Tepi Barat pada akhir Oktober 2025, kita dapat mengetahui jawaban opini publik Palestina terhadap pertanyaan dan dilema terpenting yang dihadapi Palestina, Gaza, dan perlawanan.
Hal tersebut dengan menyadari bahwa hasil ini memiliki margin kesalahan dan kebenaran, dan bahwa opini publik pada dasarnya bersifat berubah-ubah, tetapi tidak berubah secara drastis, kecuali jika terjadi kudeta dalam jalannya peristiwa dan perkembangan, seperti yang terjadi pada 7 Oktober 2023.
Seperti yang terjadi sekarang, setelah lebih dari dua tahun perang pembersihan dan pemusnahan. Jadi, apa yang dapat kita simpulkan dari hasil survei ini, dan apa yang ingin disampaikan oleh rakyat Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza?
Pertama, mengenai inisiatif Trump dan tanggapan Hamas terhadapnya
Ketika hampir tiga perempat warga Palestina menyatakan bahwa mereka mengetahui inisiatif Trump.




