REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Provinsi DKI Jakarta menggelar diskusi untuk mendata dan mengungkap kekayaan sejarah yang tersimpan dalam naskah kuno "Al-Fatawi" dan warisan Skriptorium Pecenongan. Kegiatan ini menegaskan posisi Jakarta sebagai pusat intelektual dan perdagangan sejak berabad-abad lalu.
Kepala Dispusip DKI Jakarta, Nasruddin Djoko Surjono, menekankan bahwa naskah-naskah kuno merupakan jendela untuk memahami masa lalu Ibu Kota. "Jakarta sejak dulu sudah menjadi kota global. Peneliti menyebut markas VOC di sini bukan hanya untuk Nusantara, melainkan pusat regional untuk Asia-Afrika," ujarnya dalam acara di Perpustakaan Jakarta, Cikini, Rabu (26/11/2050).
Melalui naskah, lanjut Nasruddin, dapat diketahui konteks sejarah Jakarta, jaringan ulama, dan aktivitas scriptorium atau tempat penyalinan naskah. Ia juga mengungkapkan bahwa Naskah Pecenongan telah diakui sebagai Ingatan Kolektif Nasional (IKON) 2025, sementara Al-Fatawi akan dipromosikan untuk mendapatkan status serupa.
Pada diskusi tersebut, terungkap fakta sejarah menarik tentang Kitab Al-Fatawi. RB Abi Munawir Almadani Mertakusuma, Pangeran Ratu Jayakarta IX, memaparkan bahwa kitab tersebut ditulis oleh "Ki Meong Tuntu", adik ipar Raja Sunda Kelapa kelima yang berkuasa pada 1452-1522 Masehi.
"Kitab ini ditulis dengan huruf Wesig dan bahasa Melayu campur Karo. Isinya meliputi sejarah Jayakarta, silsilah, adat istiadat, hingga ilmu perang," jelas Abi Munawir. Proses penulisan kitab ini disebutkan berlanjut hingga masa Pangeran Ratu Jayakarta pertama, Maulana Hasanudin.
Sementara itu, Oci Hendra Satria dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menyoroti upaya pelestarian yang telah dilakukan. ANRI disebut telah meluncurkan program restorasi dan preservasi arsip, termasuk kolaborasi yang berhasil menyelamatkan 33.459 lembar arsip dari 15 keraton di Nusantara pada 2024.
Fathurrochman Karyadi dari Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) menegaskan pentingnya pelestarian naskah kuno sebagai dokumen berusia minimal 50 tahun yang menyimpan warisan bangsa. Menurutnya, setidaknya ada dua cara melestarikan naskah kuno.
"Pertama dengan mengkaji isinya, dan kedua dengan digitalisasi fisik. Kita bisa belajar dari lembaga seperti DREAMSEA di UIN Jakarta yang fokus pada digitalisasi manuskrip," pungkas Fathurrochman.
Acara yang dimoderatori Eko Yuds ini tidak hanya menghadirkan diskusi akademis, tetapi juga pertunjukan Didi Hasyim sebagai monoplay dari Komunitas Suwung yang memadukan monolog dan musikalisasi naskah, menunjukkan bahwa naskah kuno dapat dihidupkan kembali dalam bentuk pertunjukan yang menarik bagi generasi muda.




