REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV— Sejak dimulainya Badai Al-Aqsa dan masyarakat Israel tidak berhenti menyuarakan penolakan terhadap pendekatan pemerintah Benjamin Netanyahu dalam mengelola urusan negara.
Dimulai dari penulis dan analis kiri, kemudian kelompok politik penyeru perdamaian, yang pada awalnya mendukung perang kemudian secara bertahap mulai membedakan diri mereka dengan tindakan genosida yang dilakukan tentara Israel, serta kegagalan mereka dalam meraih kemenangan cepat seperti yang mereka harapkan.
Masalah ini meluas hingga mencakup penangkapan tawanan Israel oleh perlawanan di Gaza dan secara paralel, suara-suara oposisi politik yang memberikan penilaian negatif terhadap pemerintah dalam rangka merebut kekuasaan—sesuai dengan jalur politik yang sudah diketahui—semakin meningkat.
Namun, penolakan yang semakin meningkat ini berjalan sesuai dengan kebiasaan Israel dalam perang-perang sebelumnya.
Pemerintah memiliki pengalaman, kemampuan, dan dukungan yang sah menurut hukum dan tradisi Israel yang memungkinkannya untuk mengatasi, terutama selama perang berlangsung.
Saat ini, pemerintahan Netanyahu, yang sedang mempersiapkan invasi baru ke Jalur Gaza, menghadapi dua hal yang belum pernah terjadi sebelumnya:
Pertama, tentara sedang bersiap untuk berperang, sementara jajak pendapat menunjukkan mayoritas rakyat Israel tidak setuju dengan kelanjutan perang.
Kedua, tentara itu sendiri tidak menentang perang baru ini dengan hanya mempertimbangkan posisi dan konsultasi antara politisi dan militer seperti yang biasa dilakukan sebelumnya, tetapi hal ini diungkapkan secara terbuka, tidak hanya dalam wacana, tetapi juga dalam praktik.
BACA JUGA: Di Balik Bocornya Dokumen Ungkap Kegagalan Kereta Gideon Israel di Gaza: Hamas tak Terkalahkan?
Praktik ini mengambil langkah yang lebih luas dan lebih dalam dari yang biasa dilakukan Israel dengan membentuk gerakan “Tentara untuk Para Sandera”.
Mereka tidak hanya menyerukan Netanyahu untuk melakukan negosiasi sebagai cara paling aman dan lancar untuk membebaskan para tawanan, tetapi juga menolak pendudukan tentara Israel di kota Gaza dengan menyebutnya sebagai ilegal dan pengkhianatan terhadap sandera dan rakyat Israel, serta membahayakan nyawa para tawanan.