REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV— Surat kabar Israel Yedioth Ahronoth menerbitkan laporan panjang yang menyoroti meningkatnya kasus bunuh diri di kalangan tentara Israel.
Terutama di kalangan pasukan cadangan, di tengah berlanjutnya perang genosida terhadap Palestina di Jalur Gaza selama hampir dua tahun.
Surat kabar tersebut dikutip Aljazeera, Selasa (8/9/2025), berpendapat bahwa fenomena ini mengandung risiko besar bagi Israel, meskipun tentara Israel meremehkan pentingnya hal ini dan mencoba menjelaskan dengan meningkatnya jumlah tentara cadangan sejak dimulainya perang pada Oktober 2023.
Menurut data resmi yang dipublikasikan oleh tentara Israel, jumlah tentara yang bunuh diri mencapai 17 orang pada 2023 dan 21 orang pada 2024, jumlah terbesar yang tercatat sejak 2011.
Surat kabar tersebut mengutip peringatan dari pakar Israel, Profesor Yossi Levi-Belitz, bahwa Israel mungkin akan menghadapi gelombang besar kasus bunuh diri.
Levi-Belitz menjelaskan mobilisasi militer melawan musuh luar tidak selalu meningkatkan kasus bunuh diri, tetapi begitu keadaan kembali seperti semula, banyak orang Israel, termasuk tentara cadangan, akan merasakan dampak trauma psikologis yang mereka alami dan fase ini mungkin merupakan fase paling berbahaya dalam hal kasus bunuh diri.
Menurut media Israel, 18 tentara telah bunuh diri sejak awal tahun ini, terakhir adalah seorang tentara yang bunuh diri di pangkalan militer di wilayah utara pada Senin lalu.
Pada Juli lalu saja, tujuh tentara bunuh diri, menurut surat kabar Israel Haaretz. Hal ini mendorong Kepala Divisi Sumber Daya Manusia militer, Dado Bar Kalifa membentuk komite untuk memeriksa tingkat dukungan psikologis dan sosial kepada tentara yang diberhentikan dan anggota cadangan.
Data yang diungkapkan oleh media Israel menunjukkan bahwa lebih dari 10 ribu tentara masih menjalani perawatan untuk krisis psikologis dan gangguan pasca-trauma, tetapi hanya 3.769 tentara yang diakui mengalami gangguan pasca-trauma dan menerima perawatan khusus.