REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK— Ian Lustick, seorang pensiunan profesor ilmu politik di University of Pennsylvania, menulis sebuah artikel analitis di majalah Foreign Policy yang menggambarkan perdebatan mengenai hak untuk hidup Israel sebagai sesuatu yang keliru dan di luar konteks.
Sebagai sebuah entitas politik yang diakui, negara memiliki hak yang sama untuk eksis seperti negara lainnya. Masalah yang sebenarnya adalah sistem Zionis-Yahudi yang telah memerintah Israel sejak berdirinya.
Sebuah sistem yang melanggengkan diskriminasi terhadap warga Palestina dan Arab dan menyebabkan perang berulang kali, perluasan pemukiman, dan apartheid internal dan eksternal.
Dia mencatat bahwa pertanyaan yang muncul dalam perdebatan publik dan pribadi di dunia adalah apakah Israel masih memiliki hak untuk hidup?
Penulis mengaitkan pertanyaan ini dengan perang yang sedang berlangsung di Jalur Gaza dan tingkat kekerasan serta kehancuran membinasakan, serta penindasan terhadap warga Palestina di Tepi Barat dengan sistem apartheid, mirip dengan yang terjadi di Amerika Serikat di bawah hukum Jim Crow.
"Hukum Jim Crow" adalah seperangkat undang-undang yang memberlakukan segregasi rasial dan penolakan hak-hak sipil di negara-negara bagian selatan Amerika Serikat pada 1980-an.
Pensiunan profesor ilmu politik ini menjawab bahwa ya, Israel mungkin saja memiliki hak untuk hidup, tetapi apa yang disebutnya sebagai sistem hak istimewa Yahudi-Zionis yang mengaturnya mungkin tidak memiliki hak seperti itu.
BACA JUGA: Smotrich Siap Bangun Bait Suci, Terompet Sangkakala Mulai Ditiup di Masjid Al-Aqsa, Ya Rabb...
Konsep berbeda
Penulis dengan hati-hati membedakan antara tiga konsep yaitu negara, rezim, dan pemerintah. Negara adalah entitas yang diakui secara internasional, rezim adalah kerangka hukum penentu siapa yang memerintah dan bagaimana caranya, dan pemerintah adalah orang-orang pengisi posisi untuk waktu terbatas.
Dengan perbedaan ini, kita dapat memahami bagaimana rezim-rezim dapat jatuh dan negara dapat bertahan, jelasnya.
