REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dalam keheningan malam yang diselimuti kesunyian, Sayyidina Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu anhu menundukkan kepala, bermunajat dengan penuh kerendahan hati di hadapan Allah SWT. Air matanya menetes, membasahi janggutnya, sementara dari bibirnya terucap doa yang mengguncang hati.
"Wahai dunia, bujuklah orang lain, jangan rayu aku! Aku telah menalakmu tiga kali, tiada lagi jalan kembali!"
Begitulah keteguhan seorang hamba Allah yang menolak pesona dunia, memilih zuhud dan kesederhanaan di atas kemegahan dan kekuasaan.
Kisah ini diriwayatkan oleh Dhirar bin Dhamrah ketika diminta oleh Mu’awiyah untuk menggambarkan sosok Ali bin Abu Thalib. Awalnya Dhirar enggan bercerita, namun karena didesak, Dhirar pun berkata dengan penuh rasa hormat bahwa Ali adalah seorang pemimpin yang pandangannya jauh, perkasa dalam keberanian, adil dalam keputusan, dan bijaksana dalam tutur kata. Ia hidup sederhana, berpakaian kasar, makan makanan yang keras dan murah, serta selalu mengutamakan ibadah di malam hari.
Dalam pandangan Dhirar, Ali bin Abu Thalib bukan hanya seorang khalifah, tetapi seorang sufi sejati yang hatinya terpaut pada Allah semata. Ia tidak silau oleh dunia, tidak takut kepada manusia, dan tidak tergoda oleh kekuasaan. Malam-malamnya diisi dengan tangisan dan doa, siangnya diwarnai keadilan dan pelayanan kepada umat. Sosoknya menjadi cermin dari ketulusan seorang pemimpin yang hidup bukan untuk dunia, melainkan untuk akhirat.
Berikut ini adalah keasksian Dhirar bin Dhamrah tentang sosok Ali bin Abu Thalib, dikutip dari buku Imamul Muhtadin yang ditulis HMH Al-Hamid Al-Husaini.




