Rabu 28 May 2025 22:03 WIB

Zakat Dinilai tidak Bisa Dipaksa Tunduk pada Logika Bisnis

Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi model ideal di global.

Rep: Muhyiddin/ Red: A.Syalaby Ichsan
Dr Irfan Syauqi Beik, Ketua Departemen Literasi Keuangan Syariah-Majelis Pengurus Pusat ICMI pada Senin (28/8/2023) di Jakarta, mengatakan ICMI mendorong agar sistem maqashid syariah menjadi pondasi utama kebijakan ekonomi nasional.
Foto: ICMI
Dr Irfan Syauqi Beik, Ketua Departemen Literasi Keuangan Syariah-Majelis Pengurus Pusat ICMI pada Senin (28/8/2023) di Jakarta, mengatakan ICMI mendorong agar sistem maqashid syariah menjadi pondasi utama kebijakan ekonomi nasional.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat Ekonomi Syariah IPB University, Irfan Syauqi Beik menjelaskan, zakat bukanlah instrumen yang tunduk pada logika bisnis. Menurut dia, pengelolaan zakat harus berorientasi pada kemaslahatan, bukan keuntungan.

“Zakat memiliki dimensi spiritual, sosial ekonomi, dan politik. Maka sistem zakat tidak bisa dipaksakan tunduk pada logika bisnis yang profit-oriented, karena hakikatnya adalah maslahat-oriented, bahkan zero profit,” ujar Irfan dalam siaran pers yang diterima Republika di Jakarta, Rabu (28/5/2025).

Baca Juga

Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University ini mengingatkan agar pendekatan komersial tidak diadopsi secara sembarangan dalam pengelolaan zakat. Dia menilai, zakat bukanlah instrumen pasar bebas yang bekerja berdasarkan kompetisi dan efisiensi seperti halnya dunia usaha.

"Menurut saya, dalam konteks zakat, kita harus kembali ke prinsip-prinsip sistem zakat yang utuh. Seperti filosofi satu tubuh, di mana negara dan masyarakat berperan bersama," ucap dia.

Lebih lanjut, Irfan menekankan pentingnya membangun integrasi ekosistem zakat antara Baznas dan lembaga-lembaga zakat lainnya. Dia mengkritisi penggunaan istilah “filantropi” dalam konteks zakat karena dinilai tidak sesuai dengan hakikat dan dasar hukumnya.

“Filantropi berbasis pada kedermawanan, sedangkan zakat bersifat wajib, atau dalam istilah lain, pemaksaan hukum agama,” kata Irfan. “Pengelolaan zakat bukanlah ranah untuk merger, akuisisi, atau kompetisi efisiensi seperti dalam dunia bisnis," jelas dia.

Dia pun menawarkan pendekatan alternatif dalam menggambarkan sistem zakat, yakni dengan analogi tim nasional sepak bola. Dalam analogi ini, negara berperan sebagai kapten, sementara masyarakat menjadi bagian dari satu kesebelasan yang bergerak bersama dalam satu sistem yang terkoordinasi.

"Maka, logika yang lebih tepat untuk menggambarkan sistem zakat adalah seperti tim nasional: satu kesebelasan, dengan kapten dan peran yang terkoordinasi," ujar dia.

Irfan optimistis, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi model ideal dalam pengelolaan zakat global, berkat kemampuannya menyelaraskan peran negara dan masyarakat secara terpadu.

“Yang kita perlukan adalah membangun lembaga yang mampu mengintegrasikan kedua peran ini, bukan bersaing tetapi bersinergi,” kata Irfan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement