REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya mendorong agar perjanjian Hudaibiyah dijadikan rujukan dalam membangun konsensus global untuk mengatasi berbagai konflik kemanusiaan saat ini.
Hal ini disampaikan Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, dalam diskusi yang digelar Institute for Humanitarian Islam (IFHI) di Jakarta, Rabu (28/5/2025).
Perjanjian Hudaibiyah merupakan sebuah perjanjian damai yang disepakati antara kelompok Islam yang dipimpin Nabi Muhammad SAW dan kaum Quraisy di wilayah Hudaibiyah (dekat Makkah) pada bulan Dzulqa'dah tahun 6 Hijriah (628 M).
Menurut Gus Yahya, konsensus tersebut sangatlah penting untuk memberikan kontribusi konkret terhadap upaya penyelesaian krisis kemanusiaan global.
"Islam seharusnya memiliki jawaban atas kemelut kemanusiaan yang semakin mengkhawatirkan. Kalau tidak, lalu apa gunanya Nabi Rasulullah Muhammad SAW diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam?" ujar Gus Yahya.
Gus Yahya menjelaskan, selama beberapa tahun terakhir, PBNU telah melakukan berbagai kajian mendalam yang melibatkan pakar lintas agama dan budaya dari berbagai belahan dunia.
Tujuannya untuk merumuskan solusi terhadap meningkatnya konflik antaridentitas yang menjadi akar dari banyak krisis global saat ini.
"Kami menemukan bahwa konsensus adalah kunci. Jika umat manusia bisa membangun kesepakatan bersama yang ditaati oleh seluruh pihak, maka berbagai konflik identitas yang selama ini sulit diselesaikan dapat diurai," kata dia.
Gus Yahya menegaskan, perjanjian Hudaibiyah sebagai contoh konkret dalam sejarah Islam yang menunjukkan sebuah kesepakatan bisa menundukkan norma keagamaan yang sudah mapan demi kemaslahatan bersama.
"Perjanjian Hudaibiyah menunjukkan bagaimana Rasulullah SAW lebih mengutamakan perdamaian. Meskipun ada diktum yang tampaknya merugikan umat Islam, seperti pengembalian Muslim Makkah yang membelot ke Madinah, Rasulullah tetap menghormati perjanjian itu," jelas Gus Yahya.
Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang, Jawa Tengah ini mengatakan, posisi perjanjian dalam nilai-nilai agama sangat kuat dan bisa menjadi basis untuk membangun peradaban baru yang lebih damai.
"Pacta sunt servanda, ungkapan Latin yang berarti 'kesepakatan harus ditepati', itu juga sejalan dengan nilai-nilai Islam. Islam bukan hanya untuk umat Islam saja, tapi menawarkan solusi bagi seluruh umat manusia," ucap Gus Yahya.
Diskusi Pakar IFHI ini dihadiri sejumlah tokoh pemikir dan aktivis lintas disiplin, seperti KH Ulil Abshar Abdalla, KH Rumadi Ahmad, KH Ahmad Suaedy, hingga akademisi perempuan Sururin.