REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di luar kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, ada pula kitab hadis yakni Sunan Abu Dawud. Seperti halnya Shahihain, ia pun termasuk dalam Kutub as-Sittah atau enam buah kitab induk hadis dalam Islam.
Istilah sunan (jamak dari kata sunnah, yakni Sunnah Rasulullah SAW) menunjukkan, judul-judul yang terkandung di dalamnya berpatokan pada subjek umum. Misalnya, persoalan thaharah (bersuci), shalat, zakat, puasa, haji, dan seterusnya.
Biasanya, suatu kitab sunan tidak memuat hadis-hadis yang berkaitan dengan moralitas, sejarah, zuhud, dan lain-lain.
Oleh karena itu, dalam kitab sunan bukan hanya hadis sahih yang dikemukakan, tetapi juga hadis-hadis dhaif yang diberi catatan seperlunya oleh sang pengarang.
Hal seperti ini dilakukan karena, menurut Abu Dawud, hadis-hadis dhaif yang tidak terlalu lemah memiliki kedudukan lebih tinggi daripada pendapat para sahabat.
Dalam pandangannya, tak ada satu pun yang layak dijadikan pegangan setelah Alquran selain hadis. Pemakaian opini sahabat hanya setelah tidak ditemukan nash yang berhubungan dengan suatu hukum tertentu.
View this post on Instagram
Kandungan kitab
Dalam kitab sunan-nya, Abu Dawud berhasil menyeleksi sekitar 4.800 hadis tanpa terulang dari sekitar 500 ribu hadis. Menurut pengakuannya sendiri, hadis-hadis yang dihimpun itu beberapa di antaranya berkatagori sahih, mendekati sahih, dan dhaif.
Hadis-hadis sahih dicirikan dengan tiadanya penjelasan tentang martabat dan kualitas hadis. Adapun hadis-hadis yang mendekati sahih, pada prinsipnya hampir sama kedudukannya dengan hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada 'adalah (sikap adil) serta shiddiq (jujur) dari kepribadian sang perawi. Sementara itu, hadis-hadis yang diberi penjelasan secukupnya berarti berkualitas dhaif.