Senin 04 Nov 2024 10:16 WIB

Tolak Jabatan dari Penguasa Zalim, Ulama Ini Lebih Memilih Penjara

Imam Abu Hanifah kerap disiksa hingga syahid dalam status tahanan.

Penjara (ilustrasi)
Penjara (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Abu Hanifah atau yang juga disebut Imam Hanafi merupakan satu-satunya pendiri mazhab fikih ahlus sunnah waljama'ah (aswaja) yang berasal dari luar Arab, tepatnya Persia (Iran).

Sosok yang bernama asli Nu'man bin Tsabit itu membuat ijtihad dan menuliskan hukum Islam selama lebih dari 30 tahun. Hal itu dilakukannya agar umat Islam, baik pada masanya maupun generasi-generasi sesudahnya, kian mudah dalam melaksanakan syariat.

Baca Juga

Sebagai seorang mujtahid, dirinya berpandangan bahwa upaya mengeluarkan makna hukum (istinbath) mesti didasarkan pada tujuh hal pokok, yakni Alquran, Sunnah Nabi SAW, fatwa para sahabat, kias (qiyas), istihsan, ijma, dan 'urf (kebiasaan masyarakat yang tak bertentangan syariat). Di antara karya-karya monumentalnya ialah Al-Fiqh al-Akbar, Al-Fiqh al-Absath, Al-'Alim wa al-Muta'allim, dan Musnad.

Menurut catatan al-Khawarizmi, tokoh yang populer dengan sapaan Imam Hanafi itu telah mengeluarkan sekitar 83 ribu fatwa. Sebanyak 38 ribu di antaranya berkaitan dengan hukumhukum syariat, sedangkan sisanya tentang hukum perdagangan. Itu belum termasuk rumusan fikih mengenai ibadah dan muamalah di luar kasus-kasus perniagaan.

Selain berilmu, Imam Hanafi terbilang berdagang. Bakatnya sebagai pebisnis sudah ditempa sejak berusia remaja. Waktu itu, ia biasa membantu orang tuanya untuk menjual komoditas sandang.

Sejak menekuni dunia dakwah dan pendidikan, nyaris seluruh waktunya tercurah untuk membimbing umat. Penghasilan yang dimilikinya banyak disedekahkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Dirinya hanya mengambil seperlunya dari omzet tahunan.

Besarnya reputasi Imam Hanafi membuat banyak penguasa tertarik. Bukan untuk menyerap dan mendukung persebaran ilmunya, tetapi ambisi menjadikannya sebagai alat legitimasi kekuasaan. Mereka mencari-cari cara agar kebijakan yang diambilnya bisa mendapatkan dukungan dari ulama.

Pernah Imam Hanafi ditawari jabatan oleh gubernur Irak saat itu, Yazid bin 'Amr, sebagai kepala departemen keuangan negara (baitul maal). Namun, tawaran itu ditolaknya dengan tegas. Akibatnya, ia dipanggil ke ibu kota untuk dihukum cambuk.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement